Unwell

19.5K 2.9K 66
                                    

Undangan reuni SMA datang saat aku membuka bekal makananku di kantor, jam 13.30 siang. Ugh. Aku sudah lama banget gak reunian. Aku sudah kebayang juga sih, seperti semua kondangan kawinan dan halal-bihalal dan buka bersama, di reuni kebanyakan orang bakalan bertanya soal kerjaan, punya anak berapa, rumah dimana...dan saat aku jawab, "Aku kerja di hotel, tidak menikah, masih ngekost di Hegarmanah, nih!" semua akan berasumsi aku terlalu sibuk sampai belum ketemu jodoh, therefore I'm still homeless.

Dalin, on the other hand, berpikir kalau reuni adalah ajang paling pas buat cari jodoh. Dia videocall aku ngajakin reuni, setelah aku menunjukkan undangan. Dia sudah terima beberapa waktu lalu.
"Cuy, kesempatan lo ketemu orang seumuran yang punya latar belakang pendidikan sama! Dateng lah tahun ini, pleaseeee..."
Ya, kalau si cowok yang ketemu Dalin itu gak nerusin kuliah, sementara Dalin setelah jadi dokter gigi masih ambil spesialis endodontist, gak berlatar belakang pendidikan sama juga kaliii. Hahaha. Tentu aku komen gini dalam hati saja.

Hmmmm. Tahun ini ikut reuni, mungkin aku bisa sekalian cari investor untuk B&Bku. Teman-temanku banyak yang pada bisnis juga, siapa tahu aku bisa nambah ilmu.
"Nanti gue pikirin deh."
Reuni SMA tahun ini diselenggarakan di sebuah hotel di Ciater, bisa bawa keluarga juga. Seru sih kayaknya. Aku suka kalau ada anak-anak banyak. Mainan sama bocah selalu bisa jadi alasan untuk menghindari basa-basi ("Lagi jagain anaknya si A/B/C nanti ya ngobrol-ngobrol!").

"Beneran pikirin ya!" Dalin mengancam.
"Iyeeeee. Eh, lo mau ikutan jemput Prama gak? Dia lusa balik sini, lho!"
Aku barusan cek email, dan ternyataaaa si quirky Pram nyampenya cepet! Dia cerita dalam e-mail singkatnya kalau dia bahkan dikirimin tiket sama kantor barunya. Jadilah, dia gak balas-balas chat...kemungkinan sibuk packing buat pindahan...

Errr...wait.
Wajah Dalin tampak kaget, dan shock.
"Seriusan dia balik lusa? Dia gak ngabarin gue sama sekali!"
Wah. Aku langsung menyesal jadi pembawa kabar (buruk).

"Gue berusaha chat dia, dia jawabnya pendek-pendek. Kadang gak dibalas. Gue pikir dia sibuk. Trus sekarang Prama mau balik gak bilang-bilang gue sama sekali..." Dalin mulai terisak dan mengusap mata dengan tisu.

Aku speechless. Aku sempat nanya juga, tapi jawaban Prama tuh yang: "Bilang Dalin, baperlah pada tempatnya."
Kan aku jadi gak tega juga ya menyampaikannya pada Dalin.

"Jangan-jangan, dia tuh sebenernya gak pernah nganggap gue sahabatnya kali, ya, Ras? Atauuu...dia udah punya pacar trus dia takut nyinggung perasaan gue, karena dia cowok tapi lebih laku? Atau dia diem-diem benci sama gue? Laras! Kenapaaaa si Pramaaaaa?"
Nah. Terjadilah. Dalin being dramatic.

"Gak tau gue, Lin, serius." jawabku jujur, sama bingungnya.
Betulan. Dari dulu, kami sahabatan bertiga, diawali dengan aku temenan sama Dalin dan aku temenan sama Prama. Kebetulan, manjanya Dalin cocok dengan sikap gentleman Prama dan karena itulah kami bertiga jadi berteman cukup akrab. Seakrab sharing kamar kalau lagi berlibur gitu lho.

"Gue mau videocall dia! Udah dulu ya! Bye." Dalin menangis sebelum akhirnya layar ponselku balik ke wallpaper.

Aku meneruskan makan, senang karena masakanku masih enak meski masuk tupperware berjam-jam dan tiba-tiba, teringat pada...Tian. Ada sebuah ide yang mendadak muncul di kepalaku.

 Ada sebuah ide yang mendadak muncul di kepalaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang