PROLOG

1.2K 84 0
                                    

Malam beranjak semakin larut. Langit gelap tanpa bintang. Namun, masih banyak kendaraan yang berlalu lalang di luar sana. Hari ini adalah sabtu malam. Tentu saja, Jogjakarta masih ramai.

Ale menatap beberapa kendaraan yang berlalu lalang melalui jendela kaca di sampingnya. Sesekali mereka tampak berhenti karena jalanan yang padat. Sudah hampir dua jam, Ale duduk di kursi pojok sebuah kafe yang terletak di pusat kota Jogjakarta. Beberapa orang tampak sedang bercengkerama di sekitar Ale. Namun tidak dengan Ale, dia datang sendiri malam ini. Selain karena dia ingin sendiri, dia juga tidak mempunyai siapapun untuk diajak di akhir minggu seperti ini.

Hujan tiba-tiba jatuh ke bumi. Berawal dari gerimis hingga menjadi tetesan-tetesan riuh yang menghujam bumi. Di luar sana, orang-orang tampak bergegas untuk mencari tempat berteduh. Jalanan yang tadi padat pun, berubah menjadi lengang. Kebanyakan orang memang takut basah karena air hujan. Mungkin sebagian dari mereka mengutuki hujan yang tiba-tiba turun dan membuat baju mereka basah. Padahal, mereka sedang berkencan dengan sang kekasih. Tetapi, hujan tidak pernah peduli meskipun dikutuk. Karena, hujan percaya kalau dia memiliki tugas mulianya. Dia ingin menyampaikan cinta langit pada bumi. Dia ingin menjaga bumi dari kerusakan karena matahari. Hujan adalah bentuk cinta yang tulus dari langit. Kenapa mereka yang mengutuk itu tidak berpikir kalau langit juga berhak berkencan dengan bumi malam ini?

Ale memalingkan wajahnya dari hujan. Jendela kaca di sampingnya mulai berembun dan membuatnya tidak terlalu bisa melihat pemandangan di luar. Tangannya meraih secangkir kopi latte yang sudah dingin. Dia tidak menghabiskannya karena rasa latte yang sudah berubah akibat dingin. Dia lalu meraih ponsel dan memasukkannya ke dalam totte bag yang dibawanya. Dia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu depan. Sudah terlalu malam untuk tetap berada di luar rumah. Papa pasti sudah mencemaskannya.

Pandangan Ale mengitari sekeliling halaman kafe. Tidak ada lagi tukang parkir yang tadi berada di halaman. Hujan masih cukup deras untuk diterjang begitu saja menuju ke mobilnya. Dia memang suka hujan namun tidak untuk membuatnya basah.

"Takut basah?"

Suara pria membuat Ale langsung menoleh. Ia menemukan seorang pria dengan setelan kemeja flannel yang sudah digulung lengannya hingga siku sedang menyalakan rokok yang terjepit di mulutnya. Hanya dalam hitungan detik, asap rokok itu sudah menerpa wajah Ale.

Ale memalingkan wajahnya karena ia tidak suka berbicara dengan orang asing. Dia memilih untuk mengabaikan pria itu.


Pria itu lalu membuka payung yang entah sejak kapan sudah di tangannya dan memayungi Ale. "Ayo, aku antar ke mobilmu!" ucap pria itu lagi.

Ia sudah berada sangat dekat dengan Ale hingga aroma parfum yang sudah tercampur oleh bau tembakau tercium oleh indra penciuman Ale. Pandangan Ale tertuju pada pria itu dan ia menemukan mata yang menatapnya dengan tajam namun sangat teduh. Dan mata itu mampu menyihir Ale untuk mengikutinya menembus hujan menuju ke mobilnya.

Ale akhirnya sudah duduk di dalam mobilnya dan pria itu masih berdiri di samping mobilnya seraya menatapnya. "Thanks," ucap Ale lalu menyalakan mesin mobilnya.

"Nice to meet you," balas pria itu dengan senyum tersungging di bibirnya. Ale tidak membalas senyum itu dan langsung menjalankan mobilnya meninggalkan halaman parkir kafe serta meninggalkan seorang pria yang seolah masih enggan untuk berpisah dengannya.


-00-





Same Sky Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang