Pagi ini rumah sakit ramai seperti biasa. Ale berjalan menyusuri lorong. Langkah kakinya pelan, mengikuti langkah kaki Bara di sampingnya yang sedang menarik kopernya. Hari ini, Ale sudah boleh pulang setelah hampir satu minggu berada di rumah sakit. Tidak ada Andra. Dia hanya mengirimkan pesan kalau dia meminta maaf tidak bisa menjemput. Banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini. Ale hanya bisa mengiyakan saja. Dia berusaha memahami pekerjaan Andra, meski di dalam hatinya, dia memendam banyak pertanyaan. Andra berubah sejak hari pertama dia dirawat di rumah sakit. Entah apa yang terjadi padanya hingga dia bersikap seperti menghindar dari Ale.
Ale melangkah masuk ke dalam mobil Bara. Lalu, mobil melaju cepat meninggalkan rumah sakit menuju ke rumah.
"Kamu memikirkan Andra?" tanya Bara tiba-tiba dan membuat Ale langsung menoleh. Dia hanya tersenyum menanggapinya. Bara bukanlah orang yang ingin dia ajak bicara tentang hubungannya dengan Andra.
Bara kemudian tersenyum. Dia tahu kalau dirinya dan Ale belum sedekat itu untuk saling menceritakan isi hati.
Lalu, hanya sepi. Ale memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil. Pikirannya melayang pada Andra. Dia sangat merindukan laki-laki itu. Meski setiap malam, saat dia tertidur karena obat yang diminumnya, dia bisa merasakan tangannya selalu dipegang oleh Andra. Namun, dia tidak pernah melihat Andra saat pagi dia bangun.
Mobil akhirnya berhenti tepat di depan rumah. Ale langsung melangkah turun dan masuk ke dalam rumah. Papa sudah menunggu di dalam rumah dan langsung memeluk Ale.
"Ale mau istirahat, Pa." ucap Ale yang dibalas anggukan Papanya. Dia lalu berjalan menuju kamarnya dan menutup pintunya rapat. Dia sempat mendengar Papa yang berbicara dengan Bara, tetapi dia sama sekali tidak tertarik. Pikirannya hanya tertuju pada Andra. Dia tidak sabar menunggu besok dan pergi ke kantor untuk menemuinya. Ale kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Tangannya yang sejak tadi menggenggam ponsel kemudian membuka aplikasi pesan. Dia mengirimkan pesan pada Andra kalau dia sudah sampai di rumah.
Satu menit, dua menit, hingga satu jam berlalu, namun Andra tidak juga membalas pesannya. Bahkan, pesan itu belum dibaca. Sesibuk itukah Andra hingga mengabaikannya seperti ini? Ale meletakkan ponselnya di nakas lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
-00-
Tumpukan berkas menggunung dan beberapa kertas berjajar di meja. Namun tatapan mata Andra hanya tertuju pada satu kertas yang sejak tadi hanya dipandangnya saja. Dia tidak tahu jika akan secepat ini. Dia kemudian mengambil kertas itu dan melipatnya lagi. Tidak ada gunanya memandanginya terus-terusan. Dia tidak akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Dia membuka laci mejanya dan meletakkan kertas itu di antara tumpukan berkas.
Jam yang menggantung di dinding sudah menunjukkan pukul 8 malam. Pekerjaannya belum selesai karena sejak menerima surat itu, konsentrasinya sudah terpecah. Andra lalu mengambil ponselnya yang tergeletak sejak tadi di sudut meja. Dia membuka pesan yang dikirimkan Ale sejak beberapa jam yang lalu. Dia hanya sempat melihatnya sekilas dari notifikasi di layar ponsel tadi. Namun, tumpukan pekerjaan yang harus diselesaikannya, membuatnya memilih membiarkan pesan itu. Dia sudah lega karena Ale akhirnya bisa pulang.
Andra kemudian mengambil satu dokumen dan mulai mengerjakannya. Semua pekerjaan ini harus diselesaikan segera dan dia tidak boleh membuang-buang waktunya lagi. Sunyi di dalam ruangan yang hanya tinggal satu orang saja. Bahkan, beberapa lampu sudah dimatikan dan menyisakan satu lampu di meja Andra.
-00-
Perasaan rindu yang menggebu-gebu selalu bisa menjadi dorongan paling kuat bagi seseorang. Dorongan itulah yang membuat Ale memaksa masuk kerja meski Papa masih melarangnya. Dia bahkan menyetir mobil sendiri dengan kecepatan cukup tinggi. Sesampainya di kantor, dia melangkah masuk dengan setengah berlari. Dia bahkan hanya menjawab singkat saja ketika beberapa orang menanyakan keadaannya. Dia terlalu rindu hingga tidak bisa terlalu menahannya. Sesampainya di meja Andra, tidak ada siapapun di sana. Ale melihat jam tangannya lagi. Seharusnya Andra sudah berada di mejanya karena sekarang sudah mendekati jam masuk. Ale kemudian meletakkan gelas kopi yang dibawanya tadi di meja Andra. Pandangannya mengitari seluruh ruangan. Mungkin saja Andra sedang berada di meja lain, tetapi dia tidak menemukan Andra dimanapun. Ale lalu duduk di kursinya sendiri dengan lemas. Dia mengambil ponselnya dari dalam tas dan menelepon Andra. Dua kali nada sambung terdengar, hingga Andra menjawabnya, "Kenapa, le?"
"Kamu dimana?" tanya Ale dengan lemas. Dia berusaha mengatur napasnya yang pendek-pendek karena berlari tadi.
"Aku langsung ots ke nasabah. Mungkin sampai siang baru ke kantor. Ada apa?"
"Aku bawakan kamu kopi." Raut wajah Ale berubah kecewa. Semangatnya yang menggebu tadi langsung menghilang. Seperti panas kopi yang dibawanya tadi berubah menjadi dingin.
"Maaf."
Hanya itu yang diucapkan Andra. Lalu, Ale memilih mengakhiri telepon. Bayangan indah bertemu Andra yang tadi ditanamkannya di rumah, lenyap begitu saja. Dia merasa lemas dan kehilangan tenaga. Pandangannya kemudian tertuju pada meja Andra yang nyaris penuh dengan berkas kredit. Ale kemudian beranjak dari kursinya dan menuju meja Andra. Dia mulai mengambil berkas nasabahnya yang kemarin sempat dikerjakan Andra karena dia sakit. Pekerjaan Andra memang bertambah karena dia. Namun, dia tidak yakin jika masalah pekerjaan saja yang membuat sikap hangat Andra berubah.
-00-
Untuk beberapa orang, rokok selalu bisa menjadi penenangnya. Menghisap rokok dan merasakan zat nikotin terserap dalam tubuh. Seolah, zat beracun itu bisa menenangkan diri, padahal kenyataannya semakin menggerogoti tubuh dan mematikan. Kadang, rokok bisa menjadi seperti cinta. Seolah-olah menenangkan, padahal beracun.
Kali ini, Andra membiarkan dirinya larut dalam zat beracun itu. Sejak beberapa hari yang lalu, rokok menjadi temannya lagi. Dia selalu melakukannya setiap kali hatinya sakit. Pandangannya mendongak menatap langit sore yang mendung. Tidak ada langit senja yang kekuningan dan cantik. Matahari memilih bersembunyi diantara awan mendung. Sejak satu jam yang lalu, dia sudah kembali ke kantor. Namun saat dia melihat Ale duduk di mejanya, kakinya justru mengikuti instruksi otaknya untuk berjalan kembali dan bersembunyi di rooftop kantor. Tempat ini selalu menjadi tempat terbaik untuk melepas kepenatan.
Semilir angin menerbangkan rambut Andra yang sudah kehilangan efek pomade. Juga, asap rokok yang keluar dari mulutnya. Mungkin, sebentar lagi hujan akan turun.
-00-
Ale melihat jam tangannya lagi. Sudah pukul 5 sore. Tapi, Andra belum juga kembali. Sebanyak apa debitur yang didatanginya hingga membutuhkan waktu seharian? Ale kemudian beranjak dari kursinya. Mungkin, dia bisa menunggu Andra di rooftop dengan secangkir kopi. Dia juga bosan duduk di mejanya sejak pagi.
Langkah kaki Ale pelan menaiki tangga. Satu tangannya membuka pegangan pintu. Hembusan angin langsung menerpa wajahnya saat pintu terbuka. Dia baru sadar kalau langit semendung ini. Pandangan Ale lalu berhenti pada seseorang yang sedang duduk di bangku besi di sudut. Satu tangannya menjepit rokok dan di bawah kakinya sudah ada beberapa puntung rokok yang tampak masih baru. Sejak kapan dia sudah berada di situ dan tidak mengatakan apapun? Ada satu goresan terasa di hati Ale dalam sekejap mata.
Ale masih berdiam mematung di daun pintu. Matanya berusaha mencari tahu arti wajah sedih pada laki-laki itu. Meski tidak ada air mata sama sekali di wajahnya, namun kegelisahan yang berusaha disembunyikannya terlihat jelas. Apa yang sebenarnya dipikirkan olehnya hingga dia memilih untuk memendamnya sendiri?
Ale kemudian melangkahkan kakinya mendekati Andra. Dia mengulurkan cangkir kopi yang dibawanya tadi. Andra sontak menoleh dan tampak terkejut. Meski dia pada akhirnya tersenyum, namun Ale sudah terlanjur menemukan wajah keterkejutan itu. Andra menerima cangkir kopi tadi dan meminumnya sedikit.
"Segar sekali rasanya duduk di sini." ucap Ale sembari duduk di samping Andra. Punggungnya bersandar pada sandaran kursi dan kepalanya menengadah. Merasakan hembusan angin yang mendinginkan wajahnya.
Andra tidak menyahut apapun. Dia masih memandang ke depan dengan pandangan kosong. Ale melirik sekilas. Kegelisahan dan kesedihan semakin kentara dengan jarak sedekat ini. Dia kemudian meraih tangan Andra dan menggenggamnya dengan erat. Bibirnya hanya mengulum senyum saat Andra menatapnya dan mempertanyakan tindakannya. Namun, Ale tahu kalau matanya sudah mengatakan semuanya pada Andra. Karena beberapa menit kemudian, Andra malah menyandarkan kepalanya pada pundak Ale.
Tidak semua hal harus terucap. Tidak semua beban harus diceritakan. Cukup sebuah pundak untuk bersandar sesaat ketika lelah sudah sangat terasa. Ale pikir kalau Andra membutuhkan waktu untuk bercerita. Dan dia mengerti. Dia hanya ingin menjadi satu-satunya tempat Andra untuk bersandar. Seperti sekarang ini.
Meski langit mendung dan tidak ada senja yang indah, namun bagi Ale, sore ini sangat indah. Saat seseorang yang dicintainya, berada sedekat ini darinya. Itu cukup menjadi warna yang indah bagi sorenya. Genggaman tangannya semakin erat, seolah dia tidak ingin melepaskannya selamanya.
-00-
KAMU SEDANG MEMBACA
Same Sky Different World
RomancePernahkah kalian merasakan jatuh cinta pada seseorang yang memiliki keyakinan yang berbeda denganmu? Kisah ini menceritakan dua hati yang saling bertemu namun sulit untuk bersama karena mereka pergi ke tempat ibadah yang berbeda. Tidak hanya tentang...