Di luar sana, hujan mulai turun padahal tadi matahari bersinar cukup terik. Alam memang tidak pernah bisa diprediksi. Jendela kaca sudah mulai berembun dan terdapat sisa-sisa air yang menempel. Andra menatap air hujan yang jatuh satu persatu dan memercik di tanah yang sudah dilapisi semen. Sudah hampir satu jam dia berada di tempat ini, menunggu Bara yang tidak kunjung datang. Vietnam kopi yang dipesannya juga sudah mulai dingin.
"Sori, telat." Andra menoleh pada laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya, lalu duduk di depannya. Sebagian kemeja yang dipakainya basah. Mungkin dia berlari dari parkiran ke dalam kafe tanpa payung. Wajahnya tampak lelah. Bahkan, dia seperti lupa belum bercukur karena ada rambut-rambut tipis di janggutnya. Terakhir kali melihatnya dulu, dia tampak bersih dan merawat wajahnya.
Andra hanya tersenyum tipis. Dia lalu mengulurkan buku menu.
"Double espresso saja." Sahut Bara tanpa melihat buku menu. Dia benar-benar butuh kopi super untuk membuatnya terjaga hari ini. Dia bahkan belum tidur sejak pulang dari rumah sakit. Tadi, dia harus menenangkan Ale dan membujuknya untuk pulang. Namun, Ale masih menolaknya dan mengatakan kalau masih butuh waktu.
Andra kemudian memanggil waitress dan memesankan double espresso untuk Bara.
"Kenapa tiba-tiba ingin bertemu?" tanya Andra. Dia tidak ingin berlama berbasa-basi.
"Seharusnya kamu tahu sejak aku mengirim pesan tadi."
"Aku kira kamu tidak sedekat itu dengan Ale, hingga harus sangat memperhatikannya." Perkataan Andra terdengar sinis.
Bara tersenyum malahan mendengarnya. "Kalau menurutmu, aku kembali karena ingin kembali pada Ale, kamu salah. Aku kembali karena ingin menebus kesalahanku padanya sebagai seorang keluarga untuknya. Om Osman sudah aku anggap sebagai Papaku sejak dulu, dan Ale adalah adikku."
Andra tersenyum tipis. Baginya, tidak ada mantan kekasih yang kembali untuk menjadi seorang kakak.
"Ale pergi dari rumah semalam. Dia marah pada Papanya yang menyudutkanmu. Ini adalah pertama kalinya Ale semarah itu dengan Papanya."
Andra terkejut. Dia tidak tahu jika akan menjadi seperti ini. Dia tidak menyangka kalau Ale akan berbuat sejauh itu hanya untuk membelanya.
"Aku tidak mau mencampuri urusan pribadi kalian. Tetapi, aku harap kamu bisa menenangkan Ale."
Andra tidak menyahut. Pikirannya sedang tertuju pada Ale. Kenapa dia harus berbuat senekat itu hanya karena dirinya yang justru bersikap seperti pengecut ini?
Mata Bara tertuju pada Andra. Dia menatapnya lekat. Dia seperti sedang menatap dirinya sendiri enam tahun yang lalu. Ketika cinta yang dirasakannya justru menjadi hal tersulit yang harus dihadapi.
"Aku dan Zoe juga pernah berada pada posisi kalian. Saat itu, yang ada di pikiranku adalah bagaimana aku bisa membuat momen bahagia bersama Zoe di sisa waktu yang ada. Bagaimana caranya agar setiap waktu itu akan menjadi kenangan yang indah untuk kami. Kami tidak lagi mempedulikan bagaimana akhirnya nanti. Setidaknya, kami masih punya waktu untuk bersama." Bara mengambil cangkir espresso-nya dan meminumnya sedikit. Rasa sesak mulai terasa setiap kali membahas Zoe. Tetapi, dia merasa lega setiap kali ingat jika mempunyai banyak waktu dengan Zoe.
"Lakukan saja yang ingin kalian lakukan. Setidaknya, kalian masih punya waktu untuk memiliki cinta kalian sebelum waktunya akan tiba." Lanjut Bara.
Andra masih diam. Dia membenarkan perkataan Bara. Dia seharusnya juga memikirkan itu, bukannya sibuk sendiri dengan semua pikiran-pikiran yang membuang waktunya. Dia seharusnya bersama Ale sekarang, selagi dia bisa menggenggam tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Same Sky Different World
RomancePernahkah kalian merasakan jatuh cinta pada seseorang yang memiliki keyakinan yang berbeda denganmu? Kisah ini menceritakan dua hati yang saling bertemu namun sulit untuk bersama karena mereka pergi ke tempat ibadah yang berbeda. Tidak hanya tentang...