5 - Our First

370 45 0
                                    

Hujan turun lagi sore ini. Dengan setengah berlari, Ale menyeberang ke teras kafe dari tempat ia memarkirkan mobil. Dia lupa membawa payung dari rumah tadi. Saat sudah di teras kafe, dia mengusap blouse-nya yang terkena tetesan hujan. Setelah merapikan bajunya, dia berjalan masuk ke dalam kafe. Pandangannya beredar ke seluruh ruangan dan dia menemukan orang yang akan ditemuinya di kafe.

"Nunggu lama ya?" tanya Ale saat sudah berada di meja yang dituju.

Andra menoleh dan tersenyum. "Enggak juga. Duduklah."

Ale membalas senyum Andra lalu duduk di kursi depannya.

"Kamu pesan apa?" tanya Andra mengulurkan buku menu.

"Espresso."

Andra lalu memanggil waitress dan memesan secangkir espresso.

"Sorry kalau mesti ngajak ketemuannya di sini."

"Aku juga enggak tahu kalau kamu cuti hari ini. Tau gitu kan aku enggak ganggu kamu." Ale menatap Andra dengan rasa bersalah.

"Dan aku juga mengganggu akhir minggumu dengan telepon kemarin," lanjut Ale.

Andra meraih cangkir latte-nya dan meminumnya sedikit. "Kamu justru menyelamatkanku."

Ale mengernyitkan kening. "How?"

"Dari ajakan bertemu perempuan yang akan dijodohkan denganku."

Ale tersenyum. "Ouwh, really? Perjodohan?"

Waitress datang dengan secangkir espresso dan meletakkannya di depan Ale. "Terima kasih," ucap Ale yang dibalas senyuman oleh waitress.

"Bagaimana kalau kita membahas yang lainnya?" Andra tidak ingin membahas lagi tentang perkenalannya dengan perempuan yang dikenalkan Ibunya di Gereja kemarin.

"Okay."

Ale meraih espresso-nya dan meminumnya sedikit. Masih terlalu panas.

"Kenapa espresso, le? Tidak banyak perempuan yang menyukai espresso."

"I need something strong," jawab Ale sambil mengeluarkan berkas kredit yang dibawanya tadi. Dia memang berniat membahasnya dengan Andra makanya membawanya ke kafe.

"Kamu tahu bedanya membuat secangkir espresso dengan kopi hitam biasa?" tanya Andra kemudian yang dijawab Ale dengan gelengan.

"Espresso memiliki konsentrat kafein yang lebih tinggi dibanding kopi biasa. Dan membuatnya harus dengan teknik tertentu sehingga akan muncul apa yang namanya 'crema', sesuatu seperti krim yang berwarna kuning kecoklatan itu. Itulah kelebihan kopi yang ada dicangkirmu itu. Dan menambahkan kelebihan yang ada di cangkirmu dengan susu akan menghasilkan kopi yang ada di cangkirku. Kamu mungkin menikmati espresso itu karena kamu menyukainya, namun menambahkan susu akan menghasilkan sensasi berbeda dari sebuah espresso."

Penjelasan Andra membuat Ale tertegun. Kenapa dia merasakan ada sesuatu yang lain dari ucapan Andra? Seolah Andra tidak hanya sedang membicarakan espresso, tetapi ada makna yang tersembunyi.

"Seperti kehidupan. Kamu mungkin merasa nyaman dengan apa yang ada di kehidupanmu sekarang, tetapi mencoba sesuatu yang baru dalam hidupmu akan memberikan kesan berbeda." Lanjut Andra sembari menyeruput kembali latte miliknya.

"Siapa bilang aku nyaman dengan kehidupanku sekarang? Usia 30 tahun lebih, belum menikah, dan setiap akhir minggu hanya ditemani berkas kredit debitur? Dimana letak kenyamanannya?"

Andra langsung tertawa mendengarnya. "Oke... Oke ... Kita kerjakan paket kreditmu saja."

Ale menyodorkan berkas kredit yang membuatnya menyerah di akhir minggu kemarin. Sebenarnya, itu karena dia tidak memahami cara perhitungan kebutuhan kredit yang dilakukan pegawai sebelumnya dan menyebabkan debiturnya sekarang mengajukan restrukturisasi kredit. Andra mengambil pulpen milik Ale dan mulai menulis di kertas kosong. Mereka berdiskusi dan sesekali tertawa. Tidak perlu waktu lama untuk dua orang asing menjadi sedekat ini. Sesekali, Andra memandang Ale. Di saat yang sama, dia merasa ada sesuatu yang tidak biasa di hatinya.

Same Sky Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang