31. Dead End

291 33 0
                                    

Semua orang pasti tahu rasanya melempar dadu, berharap angka yang keluar akan menguntungkan kita. Rasa penasaran sekaligus kecemasan pasti menyelimuti, apalagi jika dadu yang dilempar itu akan menjadi penentunya. Seperti itulah yang dirasakan Andra sekarang. Dia sedang duduk dengan cemas di ruang tunggu Kantor Wilayah. Dia berharap dia bisa menemui Kepala Bagian Human Capital dan mendapatkan jawaban yang dia harapkan. Sudah hampir setengah hari dia menunggu Kepala Bagian yang sedang rapat. Dia memainkan jari-jarinya, sembari menenangkan jantungnya yang terus berdetak cepat.

Andra menoleh saat melihat pintu terbuka. Sekretaris Kepala Bagian keluar dari dalam ruangan dan berjalan menghampirinya. Dia mengulurkan amplop putih pada Andra saat sudah berdiri di depannya.

"Bagaimana?" tanya Andra yang dijawab gelengan oleh Sekretaris Kepala Bagian.

Rasanya, seluruh tubuh Andra lemas. Kakinya bahkan tidak bisa menyangga lagi tubuhnya. Saat seluruh usaha telah dia lakukan bahkan hingga usaha terakhirnya, namun sama sekali tidak sesuai harapannya. Semua jalannya sudah buntu.

"Apakah aku tidak bisa menemui Pak Barata?" Andra masih berusaha untuk bernegosiasi.

"Bapak sudah mengusahakannya dan menelepon Kantor Pusat, tapi tetap tidak bisa. Kamu harus berangkat ke Jakarta atau mengundurkan diri. Sudah ada orang yang akan menggantikan posisimu di sini."

Mungkin, inilah saatnya untuk menyerah, pikir Andra. Tidak ada jalan lagi yang bisa ditempuhnya. Dia hanya bisa terduduk lemas di kursi yang didudukinya selama berjam-jam tadi. Sekretaris Kepala Bagian juga sudah kembali ke ruangannya dan meninggalkan Andra sendiri.

-00-

Langit sore ini gelap. Tidak ada senja yang tampak. Hanya mendung menggantung dan angin yang cukup kencang. Ale masih duduk di kursi kemudi mobilnya yang terparkir di depan rumah kost Andra. Sejak satu jam yang lalu, dia sudah menunggu Andra. Hari ini, dia bahkan tidak tahu kalau Andra pergi ke kantor Wilayah karena dia tidak mengatakan apapun. Ale juga baru tahu saat Kepala Cabang mengatakannya tadi siang. Ingatannya membawanya pada pembicaraan tadi siang.

"Setelah ini, kamu akan mendapatkan partner baru." ucap Kepala Cabang tadi siang saat mereka sedang melakukan kunjungan nasabah.

"Oh iya, Pak?"

"Iya. Dia akan menggantikan Andra yang mendapat promosi ke Jakarta."

Saat itu, Ale merasa hatinya terasa sakit. Dia seperti diingatkan kalau Andra akan pergi meninggalkannya dalam waktu dekat. Bahkan, orang yang menggantikannya pun sudah ada.

"Tapi, Andra itu keras kepala sekali. Dia berkali-kali mengajukan permohonan pembatalan promosi. Baru ini, saya tahu ada orang yang tidak mau dipromosikan."tambah Kepala Cabang.

"Mungkin, Andra punya alasan, Pak." Ale menjawabnya dengan lemas. Tentu saja dia tahu alasan Andra. Hanya saja dia tidak mungkin menyebutkannya.

"Dia bahkan pergi ke Kanwil hari ini. Kepala Bagian menelepon saya barusan. Kantor pusat menolak permohonannya dan memintanya segera ke Jakarta atau mengajukan pengunduran diri saja."

Ale tertegun mendengarnya. Andra tidak pernah bercerita apapun padanya. Kenapa dia memilih untuk menanggung semuanya sendiri?

Mobil Andra bergerak lambat hingga akhirnya berhenti di depan rumah kostnya. Dia melangkah turun dari mobil dan Ale pun melakukan hal yang sama. Andra tampak terkejut saat melihat Ale. Tanpa mengatakan apapun, Ale hanya berjalan menghampirinya dan memeluknya. Dia ingin memberikan pelukan untuk menghiburnya. Ale tahu hari ini adalah hari yang paling berat bagi Andra. Itulah kenapa dia datang kemari. Dia tidak tahu lagi cara lain untuk menghiburnya kekasihnya itu.

Meski pada awalnya diam, Andra mulai merespon. Dia menepuk pelan punggung Ale, lalu mengelus lembut rambut Ale.

"Aku baik-baik saja." Bisiknya.

Ale tidak menyahut apapun. Dia tahu Andra berbohong. Dia tahu Andra hanya ingin berpura-pura baik-baik saja di depannya. Andra yang kemudian melepaskan pelukan.

"Ayo masuk." Dia menggenggam tangan Ale dan mengajaknya masuk. Ale berjalan mengikuti Andra hingga ke ruang tamu.

"Aku ambilkan minum dulu." Andra meninggalkan Ale sendiri di ruang tamu, lalu kembali dengan dua kaleng soda di tangannya.

"Kamu tahu darimana kalau aku bakalan pulang?"

Ale hanya mengangkat bahu. Dia tadi hanya mengikuti kata hatinya saja. Dan ternyata, hatinya mengatakan sesuatu yang benar. Andra mengambil duduk di samping Ale, hingga Ale bisa menyandarkan kepalanya di pundak Andra.

Hujan akhirnya turun, meski tidak terlalu deras. Namun, cukup untuk menghanyutkan pikiran dua orang yang sedang menghadapi jalan buntu.

-00-

Pandangan Ale tertuju pada langit-langit kamarnya. Meski dua jam yang lalu, dia sudah membaringkan tubuhnya dan berniat tidur, namun pikirannya tidak mau berhenti. Dia memikirkan segala kemungkinan tentang kepindahan Andra. Ingatannya masih mengingat jelas pembicaraannya dengan Kepala Cabang, lalu pertemuannya dengan Andra tadi. Dia masih ingat bagaimana wajah lesu Andra tadi dan dia benar-benar tidak tega melihatnya.

Ale tentu saja tahu alasan Andra menolaknya. Dia tidak ingin memilih opsi perpisahan. Namun, dia juga tidak ada pilihan lainnya. Meski jarak Jakarta-Jogjakarta tidak terlalu jauh, namun perpisahan ini terasa lebih dari sekedar jarak. Ini adalah bukti kalau Tuhan tidak menginginkan kebersamaan ini. Mereka berdua tidak bisa melawan takdir dengan alasan hati ataupun cinta.

Ale menghitung sisa waktu kebersamaan mereka. Tiga minggu. Andra hanya punya waktu tiga minggu untuk berada di Jogjakarta. Itu berarti mereka juga hanya punya waktu tiga minggu untuk bersama. Ale tidak bisa menahan airmatanya yang sudah mengalir duluan dari kelopak matanya. Berat. Dia bahkan belum bisa membayangkan bagaimana dia akan menjalani hari-harinya tanpa Andra. Selama ini, Andra selalu memperhatikannya. Setelah ini, tidak ada lagi orang yang akan meletakkan segelas kopi di mejanya saat lembur, atau membawakan roti selai saat pagi hari. Menungguinya di meja kerjanya hingga tertidur saat harus pulang malam. Tidak ada juga yang akan mengantarnya ke semua tempat nasabah meskipun jauh. Tidak ada pula yang tiba-tiba mengantarkan makanan ke rumah saat Ale menginginkannya.

Airmata Ale semakin deras setelah mengingatnya. Dia bahkan harus menutup mulutnya agar isak tangisnya tidak terdengar Papanya. Dia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan menangis. Dia tidak ingin kehilangan Andra, namun dia juga tidak bisa memaksa untuk tetap di sampingnya dan menghancurkan karir Andra.

-00-

Same Sky Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang