13 - Rasa Terpendam

276 36 0
                                    

Ale mengetuk-ngetukkan kuku-kuku jarinya pada meja kerjanya. Otaknya sedang sibuk menimbang-nimbang dari dua pilihan yang mengganggunya. Sudah hampir satu jam berlalu, Ale hanya duduk di meja dan berpikir tanpa melakukan apapun.

"Kopi, le?"

Suara Andra membangunkan Ale dari lamunannya. Dia mendongak dan menatap Andra yang berdiri di sampingnya. Tangannya menggenggam papercup dan sedang terulur ke arahnya. Ale menerimanya dan mengucapkan terima kasih.

"Ada yang mengganggu pikiranmu?"

Andra menarik kursi dan duduk di samping Ale. Dia sudah mengamati Ale sejak satu jam yang lalu. Karena ingin bertanya, dia memilih untuk menjadikan segelas kopi sebagai pembukanya.

Ale tidak menjawab apapun dan hanya mengulurkan sebuah kartu nama. Andra menerimanya dan membacanya. Ada sebuah nama perusahan PT Cakramas dan nama CEO-nya, Dimas Abimana Prastawa. Membacanya saja, Andra langsung merasakan sesuatu yang tidak enak di hatinya.

"Aku butuh ekspansi. Papa menyarankanku untuk mengambilnya." Ale mulai bercerita. Sementara, Andra mendengarkan dengan perasaan cemas. Dia takut jika sesuatu yang ditakutinya, justru menjadi kenyataan.

"Tapi, aku tidak mau menemui CEO-nya. Aku tidak suka cara dia melihatku." Ale melanjutkan lagi. Dia memang selalu terbuka pada Andra.

Dari kalimat yang baru saja diucapkan Ale, kenyataan yang ditakuti Andra semakin terasa nyata.

"Apakah Papa menjodohkanmu dengannya?" Pertanyaan itu sudah tidak bisa ditahan lagi oleh Andra. Dia tahu Papanya Ale tidak terlalu menyukainya karena perbedaan keyakinan di antara mereka. Mungkin, pria bernama Dimas Abimana Prastawa itu menjadi figur yang tepat menjadi calon suami Ale, menurut Papanya.

Ale menggeleng lemah. Namun, gelengan kepala Ale terlihat ragu-ragu. Apakah Ale sebenarnya sudah tahu maksud Papanya? Itulah kenapa dia merasa ragu.

"Kamu mau aku temani, le?"

Andra berharap kalau Ale akan menyetujuinya. Dia ingin berada di tempat dimana semua kemungkinan bisa terjadi. Jika dia membiarkan Ale pergi sendiri sekarang, apakah Ale akan menjadi luluh pada laki-laki itu?

Tapi, Ale justru tidak mengatakan apapun. Dia malah beranjak dari tempat duduknya dan berjalan pergi. Dia bilang mau ke kamar mandi sebentar. Pandangan Andra mengikuti pergerakan Ale hingga dia menghilang dari balik tembok. Kemudian, pandangannya beralih pada bunyi ponsel Ale. Sebuah pesan masuk dan terlihat sebagian di layar ponsel Ale. Meski tidak sepenuhnya, Andra sudah bisa tahu apa yang ada di dalam pesan itu.

Abimana mengirimkan pesan dan bertanya, apakah mereka jadi bertemu siang ini?

Ada yang terasa sakit di dada, namun Andra berusaha menahannya. Sejak awal, dia sadar jika bersama Ale, bukanlah sesuatu yang mudah. Bertahan dengan Ale atau bahkan mendapatkannya membutuhkan perjuangan ekstra. Mungkin, hatinya harus berdarah-darah terlebih dulu.

"Kok jadi kamu yang melamun, Ndra?"

Ale tiba-tiba muncul. Andra hanya menanggapinya dengan senyum. Dia menggeser kursinya lagi dan memilih duduk di meja kerjanya sendiri. Dari sudut matanya, dia bisa melihat Ale mengambil ponselnya dan sedang membaca pesan. Tentu saja pesan dari pria itu. Ale tampak mengetikkan beberapa pesan lalu meletakkan kembali ponselnya di meja. Yang dilakukannya kemudian adalah membereskan mejanya.

"Aku keluar dulu ya, Ndra."

Andra menoleh sekilas lalu tersenyum. Hingga sesuatu menggerakkannya untuk berdiri lalu mengikuti Ale, dia menarik lengan Ale, ingin memastikannya sekali lagi.

"Kamu yakin tidak mau aku temani?"

Ale tersenyum. "Kamu tenang saja. Aku akan kembali." Dia melepaskan tangan Andra dari lengannya lalu berjalan pergi.

Same Sky Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang