24. Says Nothing at All

210 34 1
                                    

Satu tangan Ale mengganti channel TV yang ditontonnya. Ini adalah hari ketiga dia berada di rumah sakit dan dia sudah merasa bosan. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Andra juga sejak kemarin tidak datang menjenguknya. Dia bilang banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya, termasuk pekerjaan Ale yang tertunda.

Pintu kamar terbuka dan membuat Ale langsung menoleh. Dia berharap kalau Andra akan datang menemuinya. Senyum di bibirnya langsung menyusut karena yang masuk ke kamarnya justru Bara.

"Kamu kecewa karena bukan Andra yang datang?" Bara mengatakannya sembari mengecek botol infus.

Ale tidak menyahut. Dia memang belum berbicara banyak pada Bara meski beberapa kali Bara masuk ke dalam kamarnya untuk mengecek kondisinya.

"Dia tidak datang sejak kemarin. Mungkin, dia sedang sibuk."

"Aku tahu."

Bara tersenyum mendengar Ale menanggapi ucapannya. Meski hanya dengan jawaban singkat, dia sudah merasa cukup. Dia ingin membangun hubungan yang baik lagi dengan Ale. Bukan sebuah hubungan yang berdasarkan cinta, namun seperti kasih sayang kakak dan adik.

"Kalau kamu bosan dengan televisi, kamu bisa berjalan-jalan di taman rumah sakit. Mau aku bantu?"

Ale berpikir sejenak. Dia memang benar-benar ingin keluar dari kamar ini. Dia akhirnya mengangguk. Bara lalu membantu Ale berdiri.

"Kamu bisa melingkarkan tanganmu di sini." Bara meraih tangan Ale dan melingkarkannya di lengannya. Dengan serta merta, Ale langsung menarik tangannya. Dia tidak nyaman untuk bersentuhan dengan Bara.

"It's okay, le. Anggap saja aku kakakmu seperti dulu."

Ale menatap Bara dengan tatapan tajam. Dia lalu berjalan sendiri ke luar dari kamarnya. Satu tangannya menarik tiang infus. Bara yang melihatnya hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau luka hati Ale tidak akan semudah itu hilang. Dia juga tahu kalau semua itu karena perbuatannya sendiri.

Semilir angin menerbangkan rambut-rambut tipis di tengkuk Ale. Rasanya sangat segar duduk di bawah pohon besar seperti ini. Ale mendongak dan menatap langit yang tampak biru sekali. Hanya beberapa awan putih yang menutupi keindahan langit.

"Bagaimana rasanya?" tanya Bara. Sejak tadi dia hanya mengamati Ale yang sedang menikmati angin segar yang menerpa wajahnya.

"Better."

Mereka lalu diam. Hanya suara daun-daun yang bergesekan atau suara orang-orang yang berlalu lalang saja. Sesekali juga terdengar suara ambulans.

"Apakah kamu akan menjawabnya kalau aku bertanya alasanmu meninggalkanku saat itu?" tanya Ale tiba-tiba.

Bara tersenyum mendengarnya. Akhirnya, waktunya telah tiba. Dia sudah menunggu momen ini. Saat Ale menanyakan alasannya enam tahun yang lalu pergi. Setidaknya, dia bisa berharap Ale akan mengerti.

"Karena aku mencintai Zoe melebihi apapun. Dia membuatku mengerti rasanya benar-benar mencintai seorang perempuan. Lalu, kalau kamu bertanya tentang perasaanku padamu saat itu? Aku baru menyadari kalau aku hanya menyayangimu sebagai seorang adikku. Saat itu, aku memang memilih untuk tidak mengatakan apapun padamu, karena aku tidak ingin menyakitimu lebih dalam. Dan Zoe ... Zoe harus segera dirawat di US."

Ale menggigit bibirnya. Rasanya sakit mendengar jawaban Bara. Ternyata saat itu, dia hanya memaksakan perasaannya sendiri. Bara yang selama bertahun-tahun, dianggapnya sebagai belahan jiwanya, ternyata hanya menyayangi sebagai seorang adik. Beberapa memori berkelebat lagi di dalam pikirannya. Seperti memutar ulang roll film di kepalanya, Ale mengingat kembali semua yang pernah dijalaninya dengan Bara. Dia sadar sekarang. Bara memang tidak pernah menunjukkan rasa cintanya. Dia hanya terlihat menunjukkan perhatian sebagai seorang saudara yang melindungi dan menjaga adiknya.

Same Sky Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang