Ale berjalan masuk ke dalam rumahnya. Masih pukul 6 sore dan dia sudah berada di rumah sekarang. Dia bosan berada di kantor karena Andra masih belum pulang dari Jakarta. Sejak mengenal Andra dan sering bersamanya, Ale menjadi terbiasa dengan kehadirannya. Tanpa Andra, dia selalu merasa tidak bersemangat di kantor.
"Tumben sudah pulang?" tanya Papa yang sedang duduk di ruang tengah dan menonton televisi.
"Lagi pengen pulang cepet saja, Pa. Ale ngantuk."
Papa tersenyum mendengar jawaban anak semata wayangnya. "Kamu mau Papa buatkan makan malam?"
Ale menggeleng. Dia memang sedang tidak bernafsu untuk makan. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa moodnya berubah sejak Andra pergi ke Jakarta. Dia hanya ingin tidur saja.
"Ya sudah kamu mandi saja dulu."
Ale tersenyum lalu masuk ke dalam kamarnya. Dia menutup rapat pintu kamarnya lalu meletakkan tas nya di atas meja. Dia tidak langsung mandi dan malah merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Pikirannya mengingat lagi tentang peristiwa beberapa hari yang lalu saat Helena menceritakan pernikahannya di sini. Sesuatu terlintas di dalam pikirannya. Benarkah semengerikan itu sebuah pernikahan? Seseorang bisa berubah drastis hanya karena satu masalah yang datang. Seingatnya, Hellena dan mantan suaminya itu sudah menjalin hubungan lebih dari lima tahun sebelum menikah. Mereka selalu terlihat seperti Love birds. Namun, sikap mantan suaminya bisa berubah hanya karena Hellena keguguran. Apakah seorang pria memang selalu mudah untuk berubah pikiran dan hati seperti itu?
Ingatan Ale membawanya pada peristiwa yang dihadapinya lima tahun lalu. Pria yang sangat dicintainya pun juga berubah drastis hanya dalam waktu sekejap. Dia yang selama ini Ale yakini akan menjadi calon pendamping hidupnya, pada akhirnya, malah memilih untuk menikah dengan perempuan yang baru saja ditemuinya selama beberapa bulan. Ale pun berpikir, apa yang sebenarnya ada di pikiran seorang pria. Kenapa mereka bisa semudah itu memutuskan untuk berpaling hati?
Suara ketukan di pintu membuat Ale terbangun dari lamunannya. Dia bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu. Papa berdiri di balik pintu dengan membawa cangkir.
"Papa kira kamu sudah mandi? Ini Papa buatkan teh chamomile supaya tidurmu nyenyak."
Ale membuka pintu lebar supaya Papanya bisa masuk. "Tadi rebahan dulu, tapi malah ketiduran." Ale berbohong. Dia berpikir untuk tidak menceritakan apa yang ada di pikirannya pada Papa karena sejak tiga tahun yang lalu, Ale berjanji untuk melanjutkan hidupnya lagi.
Papa meletakkan cangkir di atas nakas lalu duduk di tempat tidur. "Ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan pada Papa?"
Ale duduk di samping Papanya lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Papa. "Tidak ada, Pa. Ale hanya ingin istirahat."
"Apa bekerja di kantor cabang terasa berat?"
"Lumayan. Karena harus memikirkan target."
"Kamu mau Papa bantu cari nasabah? Papa punya banyak kenalan yang bisa kamu datangi."
Ale menegakkan kepalanya dan melihat Papanya. "Boleh, Pa."
"Tapi Papa tidak bisa menjanjikan kalau mereka akan menerima tawaranmu. Papa cuma bisa membuka pintunya saja."
Ale tersenyum. "Apa yang Papa lakukan sudah cukup membantu Ale." Dia merangkul Papanya. Dia bersyukur memiliki seorang Papa yang sangat menyayanginya dan selalu menghargai keputusannya.
"Ya sudah. Kamu minum teh-nya lalu mandi. Setelah itu, tidurlah." Papa beranjak dari tempat tidur lalu keluar dari kamar. Sementara Ale menatap punggung Papanya yang menghilang dari balik pintu. Di dalam hati, dia sangat meminta maaf pada Papanya karena harus berbohong tadi. Dia hanya tidak ingin membebani Papanya dengan lukanya yang ternyata belum sembuh. Lima tahun yang lalu, Ale tahu kalau Papa pun sangat terluka melihatnya yang hanya diam di kamar lalu memutuskan untuk tinggal di Jakarta hingga tidak pernah pulang ke rumah selama dua tahun.
-00-
Tumpukan berkas menggunung di meja Ale. Ini adalah semua berkas yang harus dia selesaikan dalam minggu ini. Dan karena kemarin sore, dia pulang cepat maka dia harus menebusnya dengan datang lebih pagi. Ale fokus dengan layar laptop di depannya hingga tidak menyadari kalau sudah mulai banyak pegawai yang datang.
"Serius amat, Le. Ini ngopi dulu."
Ale langsung menoleh karena dia sangat mengenal suara itu. Senyumnya mengembang lebar melihat wajah Andra yang juga tersenyum padanya.
"Kamu sudah pulang?"
"Seneng ya, aku pulang? Atau kamu sudah kangen banget sama aku?" Andra mengatakannya dengan setengah berbisik agar pegawai lainnya tidak mendengar.
"Anggap saja dua-duanya." Ale meraih papercup yang diletakkan Andra di mejanya.
"Espresso dan roti selai," ucap Andra sambil duduk di mejanya sendiri.
"Kok kamu tahu aku belum sarapan?" Ale membuka bungkusan roti selai dan mulai memakannya. Dia belum makan apapun sejak semalam.
Andra menoleh pada Ale. Sudut bibirnya tertarik ke samping. "Mungkin karena hati kita sudah nyambung."
Ale hampir tersedak mendengarnya. Cara Andra mengatakannya menunjukkan kalau dia tidak sedang bercanda. Mata Ale menatap lurus pada Andra, begitu juga sebaliknya. Adegan saling menatap itu akhirnya terhenti ketika terdengar pengumuman kalau briefing pagi akan dimulai.
-00-
KAMU SEDANG MEMBACA
Same Sky Different World
RomancePernahkah kalian merasakan jatuh cinta pada seseorang yang memiliki keyakinan yang berbeda denganmu? Kisah ini menceritakan dua hati yang saling bertemu namun sulit untuk bersama karena mereka pergi ke tempat ibadah yang berbeda. Tidak hanya tentang...