Masih terdengar nada sambung yang sama. Ale memilih menyerah dan meletakkan kembali ponselnya. Ini adalah keempat kalinya dia berusaha menelepon Andra, namun laki-laki itu masih tidak mengangkatnya juga. Dia kemudian menatap layar laptopnya yang menyala dan menampilkan tampilan excel berisi data-data debitur. Kemana dia? Bukankah dia sudah berjanji akan membantu?
Pandangan Ale beralih dari laptop. Matanya terasa lelah karena sejak semalam dia mengerjakan paket kredit yang akan jatuh tempo. Banyak pekerjaan yang tertunda sejak ditinggalkan pekerja sebelumnya. Sehingga, Ale harus berlari kencang untuk menyelesaikan pekerjaan itu sebelum kolektibilitas debitur berubah menjadi menunggak karena terlambat perpanjangan kredit.
Dia berjalan menuju tempat tidurnya sembari membawa ponselnya. Jarinya memainkan layar dan membuka aplikasi Instagram. Dia melihat beberapa instastory dari teman-temannya. Rata-rata mereka sedang liburan bersama pasangan atau keluarga mereka. Sementara dia, malah mengerjakan paket kredit di akhir minggu seperti ini.
Apakah Andra juga sedang bersama pasangannya sehingga tidak bisa dihubungi tadi? Ah, seharusnya dia tahu diri untuk tidak merusak akhir minggu orang lain dengan urusan pekerjaan.
Jarinya lalu mencari nama seseorang di akun instagramnya. Dia membuka akun milik orang itu dan melihat beberapa fotonya. Jarinya bergerak pelan menggeser layar. Ada sesuatu yang berdesir di hatinya saat melihat foto-foto itu. Namun, desiran itu bukanlah desiran cinta. Hanya hati yang teriris lagi. Ale sedang mengiris lagi luka di hatinya. Sesuatu yang seharusnya tidak dilakukannya, tetapi malah dilakukannya berulang kali.
"Le, kamu mau ikut Papa?"
Suara Papa di pintu membuat Ale langsung menghapus airmata yang tanpa sadar sudah menggenang.
"Kemana, Pa?"
"Jalan-jalan." Papa tersenyum dari daun pintu.
Ale membalas senyum Papanya. "Ale siap-siap dulu." Papa mengangguk lalu melangkah pergi. Ale menatap punggung Papanya yang kemudian menghilang. Jika saja peristiwa lima tahun yang lalu tidak terjadi, mungkin sekarang dia sudah memberikan Papanya cucu. Mungkin sekarang, suara anak kecil sudah meramaikan rumah ini. Dia menghapus lagi airmatanya.
-00-
Malam minggu seperti ini, Jogjakarta pasti padat dengan penduduknya sendiri ataupun wisatawan. Ale mengedarkan pandangannya di sekitar restoran yang cukup ramai. Restoran ini selalu ramai di akhir minggu seperti ini dan entah bagaimana Papa sudah memesan meja di sini.
"Kamu mau makan apa, le?" Papa menyodorkan buku menu pada Ale.
"Sup Tomyam saja, Pa." Ale menjawab tanpa melihat buku menu. Dia sudah hapal makanan paling enak di tempat ini.
Papa tersenyum lebar mendengarnya. Papa lalu memesan seporsi sup tomyam seafood dan bistik daging.
"Papa sudah rencana mau ngajak Ale kesini?"
Papa menggeleng. "Sebenarnya, Papa ada janji dengan teman bisnis Papa. Tapi, mana mungkin, Papa meninggalkan anak perempuan Papa satu-satunya nangis di rumah sendiri?"
Ale tersenyum kecut mendengarnya. Apakah itu berarti Papa melihatnya tadi?
Papa kemudian tidak menanyakan apapun lagi karena Papa tentu saja tahu apa yang menyebabkan anak perempuannya ini menangis. Itulah kenapa Papa juga tidak pernah menanyakan kapan Ale akan menikah? Karena Papa sangat tahu apa yang pernah dialami anak perempuannya ini lima tahun yang lalu.
Makanan datang dan Papa langsung mengajak Ale makan. Sup tomyam di sini tidak pernah mengecewakan Ale. Dia memakannya dengan lahap.
"Om Osman." Papa menghentikan makannya dan melihat ke arah suara. Begitu pula dengan Ale.
KAMU SEDANG MEMBACA
Same Sky Different World
RomancePernahkah kalian merasakan jatuh cinta pada seseorang yang memiliki keyakinan yang berbeda denganmu? Kisah ini menceritakan dua hati yang saling bertemu namun sulit untuk bersama karena mereka pergi ke tempat ibadah yang berbeda. Tidak hanya tentang...