27. Like a Ferriswheel

236 31 0
                                    

Merindukan seseorang adalah sesuatu yang sangat menyiksa. Seperti menahan sebuah jerawat yang hendak meletus, namun masih menunggu waktu. Itulah yang dirasakan Ale sekarang. Dia hanya duduk di meja kerjanya, memasang earphone di telinga dan mendengarkan Frank Sinatra menyanyikan lagu Fly Me to The Moon.

Fill my heart with song and let me sing for ever more... You are all I long for... All I worship and adore... in other words, please be true... in other words, I love you...

Kalimat-kalimat itu adalah sebagian lirik Frank Sinatra yang selalu dinyanyikan Andra saat mereka bersama. Ale memutar ulang hingga beberapa kali, dan tanpa sadar dia pun sedang menggumamkan lirik itu. Dia memang sedang merindukan Andra meski baru dua hari pria itu pulang ke Solo. Andra sedang cuti selama tiga hari, sehingga Ale harus bekerja sendiri kali ini.

Ale menoleh pada meja di sampingnya. Tidak ada tumpukan berkas lagi di atasnya, seperti beberapa hari yang lalu. Meja Andra sudah bersih dan hanya menyisakan sebuah lampu meja dan beberapa alat tulis yang ditata rapi di dalam wadah. Sebenarnya, Ale yang membersihkannya kemarin. Dan dia masih ingat sekali dengan setiap tulisan di dalam selembar kertas yang disembunyikan Andra di laci mejanya.

Saat itu, yang terpikir dalam pikiran Ale adalah apakah ini yang membebani Andra beberapa waktu ini. Dia sedang gamang dengan pilihannya sendiri dan dia tidak ingin menyakiti Ale dengan menceritakannya. Setelah membacanya, Ale mengembalikan lagi kertas itu pada tempat semula dan memilih untuk tidak membahasnya dengan Andra. Dia yakin, Andra masih membutuhkan waktu untuk berpikir dan menentukan pilihannya.

Ale meletakkan pulpen yang dipegangnya. Dia sudah kehilangan semangat mengerjakan paket kredit ini setelah mengingat isi surat itu. Dia kemudian melepaskan earphone di telinganya dan meletakkannya asal di meja. Dia beranjak dari tempat duduknya dan mulai membereskan barang-barang di mejanya. Lebih baik pulang, pikirnya.

Langkah kakinya pelan menuruni tangga menuju ke tempat parkir mobil. Langit pun sudah gelap karena sudah pukul 7 malam. Ale menghentikan langkahnya saat sebuah lampu mobil menyorot padanya dan berkedip. Mata Ale menyipit karena lampu itu terlalu silau. Dia juga tidak bisa melihat siapa yang duduk di kemudi mobil. Lalu, lampu itu mati dan Ale bisa melihat siapa yang sedang duduk di kursi kemudi dan sedang tersenyum padanya.

Ale pun tersenyum lebar melihatnya.

"Bukannya kamu bilang kalau akan kembali besok?" tanya Ale saat dia sudah berada di dalam mobil Andra.

"Aku tahu kamu sudah kangen." Jawaban Andra membuat Ale langsung tergelak. Meski di dalam hati, dia sedang merasa berbunga-bunga. Bagaimana bisa laki-laki ini tahu kalau dia sangat merindukannya?

Andra kemudian menyentuh rambut Ale dan mengusapnya pelan. "Karena aku juga sudah kangen sama kamu." Ucapnya kemudian. Dia mengucapkannya dengan lembut dan sangat terdengar jujur.

Ale tersenyum. Senyum yang lebar.

Meski dia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi dia tahu dan yakin kalau mereka berdua memiliki cinta yang kuat sekarang. Dia meraih tangan Andra dan mengenggamnya erat. Tangan yang selalu hangat dan menghangatkannya. Tiba-tiba hatinya merasa sedih, bagaimana jika nanti, tangan ini tidak bisa lagi digenggamnya seperti ini? Bagaimana jika dia tidak lagi bisa merasakan kehangatannya?

Ale memalingkan wajahnya ke jendela mobil. Dia tidak ingin Andra tahu kalau matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya sedih setiap kali mengingat surat itu. Juga, saat dia ingat bahwa dirinya dan Andra berdiri di dua dunia yang berbeda, meski mereka sedang memandang langit yang sama.

-00-

"Kenapa tiba-tiba naik bianglala?" tanya Ale saat dia berdiri menghadap sebuah bianglala raksasa yang penuh dengan lampu warna warni.

Same Sky Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang