32. Where is the Love?

512 41 5
                                    

Semburat jingga mulai mendominasi langit. Gunung Merapi di ujung sana tampak indah terkena pantulan matahari yang memerah. Hamparan sawah di sisi-sisi lantai kayu mulai tinggi dan menguning hingga seperti ilalang. Lampu-lampu kuning di sisi-sisi lantai kayu semakin menambah suasana keromantisan.

Ale memanjakan matanya dengan seluruh pemandangan itu. Juga, kehangatan tangan Andra yang sejak tadi tidak melepaskan genggamannya.

"Kamu senang ke sini?"

"Kenapa tiba-tiba ke Abhayagiri?" Ale malah balik bertanya. Dia menoleh pada Andra dan menunggunya menjawab.

"Aku ingin makan malam romantis denganmu." Jawabnya. Senyum terukir di bibirnya. Namun, sangat berkebalikan dengan matanya yang justru tampak sedih.

Sebenarnya, Ale sudah tahu apa yang akan dikatakan Andra di sini. Dia sudah bisa merasakannya sejak pertama kali Andra mengajaknya ke Abhayagiri. Di tempat ini, mungkin dia akan mengutarakannya.

Andra mengajak Ale menuju ke restoran. Dia sudah memesan satu meja sejak beberapa hari yang lalu. Andra menarik kursi dan meminta Ale duduk. Ale hanya mengikuti saja, lalu Andra mulai duduk di depannya.

Ale menoleh pada hamparan sawah yang mulai tidak terlihat karena gelap mulai menguasai langit. Gunung Merapi pun mulai samar dan semakin tidak terlihat. Lampu-lampu kuning dan lilin mulai menjadi penerang. Ale kemudian mengalihkan pandangannya pada Andra yang menatapnya. Tatapan yang membuat Ale ingin sekali mendekatinya dan memeluknya, lalu mengatakan kalau semuanya mungkin akan baik-baik saja setelah ini.

"Aku ingin menjawab pertanyaanmu beberapa waktu yang lalu." Ucap Andra. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas panjang.

"Maafkan aku yang tidak segera memberitahumu, setelah aku menerima surat pindah itu. Aku benar-benar berharap kalau aku bisa membatalkannya, bahkan hingga kemarin aku masih berusaha untuk mengajukannya ke kantor pusat. Tetapi, semuanya menemui jalan buntu." Suara Andra terdengar bergetar. Matanya terlihat sedih dan putus asa.

"Jakarta dan Jogjakarta tidak terlalu jauh. Mungkin, aku bisa datang kesini setiap minggunya untuk menemuimu."

"Boleh aku berbicara, Ndra?" Ale memotong ucapan Andra. Dia tidak ingin melihat Andra semakin merasa bersalah untuk sesuatu yang bukan kesalahannya.

Andra mengangguk, menyetujuinya.

"Aku mengijinkanmu, Ndra. Aku tidak akan menghalangi langkahmu. Aku tahu kamu sudah berusaha sebisamu untuk bertahan di sini. Tetapi, kali ini, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada takdir."

Andra tertegun. Matanya meredup. Dia sedih, semakin sedih mungkin mendengar ucapan Ale. Dia tidak menyangka jika Ale malah berkata seperti itu dan membuat hatinya semakin sakit.

"Maafkan aku, Le."Hanya kalimat itu yang terucap di bibirnya. Kepalanya tertunduk dan dia memegang tangan Ale semakin erat.

Ale membalas genggaman tangan Andra. Dia menepuk-nepuk pelan punggung tangan Andra. Dia sudah menyiapkan hatinya cukup lama untuk menghadapi hari ini. Dan dia pikir, dia harus menjadi tegar agar Andra tidak semakin merasa bersalah.

"Jika suatu saat nanti di Jakarta, kamu bertemu seorang perempuan yang sejalan denganmu, baik padamu, dan mencintaimu seperti aku, aku harap kamu tidak menolaknya." Tenggorokan Ale nyaris tercekat saat mengatakannya. Namun, dia pikir dia harus mengatakannya. Dia tidak mau menghalangi Andra menemukan perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya.

"Apakah menurutmu aku akan semudah itu?"

Ale menggeleng. "Karena aku tahu kamu tidak akan mudah membuka hati lagi, makanya aku mengatakannya. Aku tahu kamu sudah mencintaiku sangat dalam. Kamu ingin menjadikanku perempuan terakhir di dalam hidupmu. Tetapi, aku harus mengatakan kalau aku bukan perempuan itu, Ndra."

Same Sky Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang