Gema takbir sangat semarak sekali pagi ini. Beberapa orang tampak tersenyum bahagia karena akhirnya hari kemenangan ini tiba. Mereka saling bersalaman untuk meminta maaf dan memaafkan. Hari raya Idul Fitri selalu menjadi momen untuk berkumpul keluarga, bercengkerama dan saling menanyakan kabar karena lama tidak bertemu. Seperti saat ini, ada begitu banyak orang di rumah Ale. Saudara-saudara Papa ataupun Mama selalu berkumpul di rumah setiap tahunnya. Ale sibuk menyiapkan sajian khas lebaran di rumah yaitu Opor, rendang, dan tentu saja masih banyak lagi. Bagi Ale, kegiatan ini lebih baik daripada harus ikut bercengkerama dengan mereka dan mendapatkan pertanyaan yang sangat tidak ingin didengarnya.
"Sibuk sendiri, le?"
Sebuah suara membuat Ale menoleh saat dia menyiapkan opor di wadahnya. Ternyata Tante Lina, adik bungsu Papa."Enggak sibuk kok, tan." Ale tersenyum menanggapinya. Dia melanjutkan aktfitasnya. Meminimalkan berbicara dengannya adalah hal terbaik yang bisa Ale lakukan daripada harus menelan kepahitan dari ucapannya atau pertanyaannya. Ale masih belum bisa lupa dengan ucapannya setahun yang lalu di hari lebaran seperti ini.
"Pacarmu enggak ikut datang sekalian?"
Dan ya dia mulai lagi! batin Ale.
"Kalau sudah punya, diajakin saja. Dikenalkan sama keluarga besar. Trus langsung menikah. Kenapa harus menunggu lama-lama? Usia juga terus nambah tiap tahunnya."
Ale menarik napas panjang agar emosinya tidak meledak. Dia memilih untuk mengangkat wadah opor dan membawanya ke meja makan. Tidak ada gunanya mendengar omongan seperti itu.
"Kalau belum punya, tante ada kenalan. Usianya, yaa, beda sepuluh tahun sama kamu. Tapi dia sudah mapan. Sudah jadi manajer di sekuritas. Duda tanpa anak." Tante lina masih saja mengikuti Ale menuju meja makan.
Ale langsung menoleh dan menatap tidak suka pada tantenya sendiri. Tantenya sudah benar-benar keterlaluan, menurut Ale. "Ale bisa mencari sendiri, kok, tan. Kalau belum jodoh mau dipaksakan juga enggak bagus. Toh, yang menikah juga Ale, bukan Tante. Jadi Tante tidak perlu repot mencarikan yang menurut Tante bagus. Lagian, juga enggak sama Tante saja itu Dudanya. Sudah mapan lo, tan. Daripada tante kelamaan sendiri. Andrean juga pasti butuh sosok Ayah."
Tante Lina tentu saja mendelik mendengar ucapan Ale, tapi Ale tidak peduli lagi. Dia tidak peduli jika dia sedang menodai arti kebersamaan keluarga di hari raya seperti ini. Dia sudah cukup lelah mendengar ucapannya. Tante Lina juga tidak pernah tahu apa yang sudah dialami Ale selama ini.
Setelah mengatakannya, Ale langsung beranjak keluar rumah dengan hanya membawa ponselnya.
"Mau kemana, le?"
"Ke swalayan depan perumahan, Pa." Ale menjawabnya sambil berjalan. Dia tidak mau Papa melihat matanya yang berkaca-kaca.
Ale terus berjalan menyusuri jalan perumahan. Sesekali dia menghapus airmata yang sudah terlanjur mengalir. Sebenarnya, dia juga tidak berencana untuk pergi ke swalayan karena tidak ada yang dibelinya. Dia hanya ingin keluar dari rumahnya untuk sementara waktu karena rasa penatnya.
Swalayan tentu saja tutup karena pegawainya masih merayakan hari raya. Ale memilih duduk di kursi yang ada di depan swalayan. Sesekali dia mengambil napas panjang agar sesak di dadanya bisa terkurangi. Dia melihat layar ponselnya. Ada beberapa pesan yang masuk dari teman-teman kantornya ataupun teman kuliahnya dulu. Mereka mengirimkan ucapan maaf dan selamat hari raya. Satu pesan membuat Ale menghentikan jarinya menggeser layar.
Dengan ragu-ragu, Ale memilih untuk meneleponnya. Beberapa kali terdengar nada sambung, hingga akhirnya suaranya terdengar.
"Iya, le." Suaranya terdengar menenangkan ketika dia merasa sepenat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Same Sky Different World
Roman d'amourPernahkah kalian merasakan jatuh cinta pada seseorang yang memiliki keyakinan yang berbeda denganmu? Kisah ini menceritakan dua hati yang saling bertemu namun sulit untuk bersama karena mereka pergi ke tempat ibadah yang berbeda. Tidak hanya tentang...