23. Out of Reach

233 37 1
                                    

Matahari bersinar terik siang ini. Bahkan, langit terlihat biru tanpa awan. Di saat yang sama, ombak berdebur dengan keras menghantam pantai. Angin juga berhembus dengan cukup kencang, sehingga menerbangkan rambut Ale yang dibiarkan terurai. Dia duduk di sebuah gazebo kecil yang berdiri di atas tebing di sisi pantai. Sesekali, dia membenarkan rambutnya yang terlanjur berantakan.

"Bagaimana rasanya?" tanya Andra yang duduk di sampingnya.

Ale menoleh dan tersenyum. "Nice view. Aku bahkan belum pernah kesini."

Ale berpaling lagi dari Andra dan menghadap ke arah garis horizon di ujung sana. Sebuah garis fana yang tidak benar nyata.

"Kamu sudah pernah menyeberangi lautan?" Andra bertanya lagi. Kali ini, pertanyaannya terdengar tidak wajar.

"Aku pernah menyeberangi samudra dengan pesawat." Ale menjawabnya dengan senyum di bibirnya.

"Maksudku dengan kapal, le. Saat kamu berada di lautan beberapa hari, kamu akan tahu betapa misteriusnya laut. Ia bisa menjadi begitu indah pada pagi atau siang harinya, namun ia akan menjadi sangat mengerikan di malam harinya."

"Like the heart of man?"

Andra mengangguk. "Vincent van Gogh. You also know it."

Ale mengangguk. "It has its storm, it has its tides. And in its depths it has its pearls too."

Ale lalu beranjak dari duduknya. "Bagaimana kalau kita turun?"ajaknya yang dijawab anggukan oleh Andra. Dia kemudian meraih tangan Ale dan menggenggamnya. Jalan turun dari tebing ini cukup curam dan ia ingin melindungi Ale.

"Kamu tahu kisah cinta pantai?" tanya Andra saat mereka sudah menuruni tebing dan berjalan menyusuri pasir pantai.

Ale sengaja melepas sandal yang dipakainya sehingga dia bisa merasakan telapak kakinya dengan bebas menjejaki pasir pantai. Dia lalu berjalan cepat menyusul Andra yang sudah lebih dulu beberapa langkah. Saat sudah di sampingnya, Ale menoleh pada Andra dan menunggunya melanjutkan ucapannya tadi.

"Kisah cinta lautan pada bibir pantai. Lautan tidak pernah lelah untuk mencium bibir pantai meskipun beribukali ia ditolak."

Ale tersenyum mendengarnya. Pandangannya masih tertuju pada Andra yang tampak tersenyum. Dia lalu mengamati laki-laki di sampingnya itu. Meski mereka berselisih usia hampir lima tahun, Andra tidak terlihat lebih tua. Dia seperti laki-laki pada usia Ale. Hanya terkadang terlihat kerutan di sekitar matanya saat tersenyum. Namun, cara Andra tersenyum selalu membuat Ale senang.

"Kamu pernah mencintai seseorang dan ditolak?" tanya Ale. Dia hanya penasaran saja. Selama ini, Andra tidak pernah membahas masa lalunya.

"Siapa yang tidak pernah jatuh cinta? Hanya saja setiap orang punya pilihan untuk bertahan dengan cinta itu atau pergi."

Jawaban Andra terasa perih. Ale tahu Andra pernah mengatakan kalau dia sudah mengikhlaskan semua luka yang dirasakannya dulu. Tetapi, proses mengikhlaskan itu tentu saja tidak mudah. Andra pasti telah melewati banyak hal untuk bisa benar-benar mengikhlaskan masa lalunya. Ale kemudian mengapit lengan Andra. Kepalanya disandarkan pada bahu Andra.

"Kita pulang?" tanya Andra yang dibalas anggukan oleh Ale. Dia lalu mulai membersihkan kakinya yang penuh dengan pasir pantai dan memakai lagi sandalnya.

Siang ini, mereka sengaja ingin menghabiskan waktu dengan pergi ke pantai. Satu bulan sudah berlalu sejak peristiwa di kafe. Dan Ale merasa semakin yakin dengan perasaannya pada Andra.

Meski, dia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi, dia yakin kalau Andra akan selalu menjadi laki-laki yang baik untuknya. Seperti yang selalu ditunjukkannya selama ini. Ale melingkarkan tangannya di pinggang Andra saat motor yang dikemudikan Andra menyusuri jalanan yang berliku menuju ke pusat kota Jogjakarta.

Same Sky Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang