3 - A Piece of Memory

405 52 0
                                    

Gerimis semakin lebat di luar. Andra membuka pintu kamar kost-nya. Ruangan berukuran 4x6 meter tampak gelap. Ia lalu meraba tembok dan menyalakan lampu. Seketika, ruangan kamarnya terlihat jelas. Tempat tidurnya masih acak-acakan karena dia terlalu terburu-buru tadi pagi dan belum sempat membereskannya. Namun, seolah tidak mempedulikannya, Andra langsung merebahkan badannya di atas tempat tidur. Kemejanya yang sedikit basah di bagian bahu juga diabaikannya. Banyak hal yang berkelebat di pikirannya sehingga ia hanya ingin merebahkan badannya saja.

Beberapa jam yang lalu, Ibunya menelepon. Ibu memintanya pulang ke Solo besok dan tentu saja Andra tahu arti dari permintaan Ibunya itu. Sejak satu tahun yang lalu, Ibu tidak pernah lelah untuk mengenalkan Andra dengan anak teman-temannya. Alasan Ibu adalah ingin mendapatkan kesempatan menggendong cucunya. Andra tidak menyalahkan keinginan Ibunya itu, namun dia juga tidak ingin terjebak dalam sebuah perjodohan sementara hatinya saja belum sembuh benar.

Pandangannya kemudian tertuju pada sebingkai foto dengan pigura warna abu-abu dan tergeletak di nakas. Di dalam foto itu ada sebuah memori yang tidak akan pernah sekalipun dilupakannya. Juga, perempuan yang sedang menyandarkan kepalanya pada bahu Andra. Dia bahkan masih sangat ingat dengan cara perempuan itu tersenyum padanya. Atau, saat perempuan itu selalu membangunkannya untuk berangkat ke Gereja bersama-sama.

Lalu, bagaimana dia bisa menghadapi perjodohan jika dunianya masih dimiliki perempuan itu sepenuhnya?

Andra mengusap wajahnya dengan kasar, lalu beranjak dari tempat tidur. Dia berjalan menuju ke kamar mandi. Berlarut-larut dalam pikiran itu, akan membuatnya hancur lagi.

-00-

Angin berhembus pelan dan menggerakkan beberapa daun dan ilalang. Matahari juga bersinar tidak terlalu terik pagi ini. Sepertinya semesta sedang ingin berbaik hati pada manusia. Pandangan Andra tertuju pada sebuah rumah mewah yang tampak sepi. Dia sudah berada di depan rumah itu sejak tiga puluh menit yang lalu. Tidak ada yang dilakukannya kecuali menatap rumah itu dari atas motornya.

Rumah bercat putih dan memiliki tembok pagar tinggi itu sebenarnya hanya menyisakan perih untuknya. Namun, setiap kali pulang ke Solo, hatinya selalu membawanya ke tempat ini. Meski hanya untuk menatapnya sekilas.

Pintu pagar tiba-tiba terbuka. Andra dengan cepat langsung menutup kaca helm-nya. Tidak lama kemudian, sebuah sedan mewah keluar dari dalam rumah. Andra tentu saja tahu mobil siapa itu, juga perempuan yang duduk di kursi penumpang itu. Hatinya terasa sakit sekali. Dia tidak menyangka jika akan melihat perempuan itu lagi setelah berpuluh-puluh kali berhenti di tempat yang sama.

Hatinya mengatakan untuk menyalakan mesin motor dan mulai mengikuti laju mobil itu. Dia tidak tahu kenapa seluruh tubuhnya malah mengikuti kata-kata hatinya, bukan akal sehatnya.

Mobil terus melaju menyusuri jalan yang ramai dan berhenti di depan sebuah toko kue. Andra menghentikan motornya. Dia lalu melepas helm-nya dan turun dari motor. Langkah kakinya pelan mengikuti perempuan yang lebih dulu masuk ke dalam toko. Di dalam ingatan Andra, toko kue ini lebih dari sekedar memori. Toko ini adalah awal dari semua pertemuan dan sakit hatinya.

"Peanut butter cake?"

Andra memberanikan diri untuk mengeluarkan suaranya saat berada dua meter dari tempat perempuan itu berdiri. Perempuan yang sejak datang sudah sibuk melihat-lihat kue langsung menoleh. Matanya yang sipit tampak membulat saat melihat Andra. Tidak ada senyum di bibirnya. Dia hanya mematung.

Andra lalu berjalan ke arahnya dan menunjuk sebuah kue berlapiskan krim warna coklat muda.

"Aku sudah tidak memakan kue itu lagi." Perempuan itu akhirnya membuka mulutnya.

"Aah." Andra kemudian menyadari sesuatu. Perempuan di depannya ini mungkin sudah menyisihkan semua kenangan mereka sejak waktu perpisahan itu.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Andra berusaha menetralkan suasana.

"Baik. Bagaimana denganmu? Aku dengar kamu sudah pindah ke Jogja."

"Ya. Pekerjaan mengharuskanku berpindah-pindah tempat."

Perempuan itu tersenyum tipis mendengarnya. Dia lalu memanggil penjaga toko dan memesan sebuah Blueberry lemon cake.

"Aku pergi dulu. Suamiku sudah menunggu." Dia memilih berpamitan. Andra hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Apa yang baru saja dikatakan perempuan itu menyadarkannya kalau keadaan sudah berubah sekarang.

Dia mungkin dulu adalah dunia perempuan itu. Namun sekarang, perempuan itu sudah memiliki dunianya sendiri. Arah pandangan Andra mengikuti kemana perempuan itu melangkah, bahkan saat masuk ke dalam mobil. Di dalam sedan mewah itu, seorang pria sedang menunggunya di kursi kemudi. Pria yang mungkin memang pantas untuknya. Seperti yang selalu dikatakan oleh orang tua perempuan itu. Mereka dari latar belakang keluarga yang sama.

Sedan mewah itu berlalu begitu saja. Sementara Andra hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Seberapa indahnya pun masa lalu mereka, perempuan itu tetap memilih pergi. Bukankah dia seharusnya juga melakukan yang sama? Bukannya malah terus berada di kubangan yang sama.

Andra melangkah menuju motornya dan berlalu pergi meninggalkan toko kue. Mungkin, memang sudah saatnya pergi dan meninggalkan yang sudah lewat.

-00-

Rumah sepi. Andra langsung melangkah masuk ke dalam. Tidak ada siapapun di dalam. Ibu mungkin sedang pergi ke tetangga sebelah rumah. Andra masuk ke dalam kamarnya dan meletakkan ranselnya asal di lantai. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Pikirannya kalut sejak peristiwa di toko kue tadi. Luka yang selalu ingin disembuhkannya, menganga lagi. Dan itu kesalahannya sendiri yang tidak menuruti akal sehatnya.

Ponselnya berdering beberapa kali, namun Andra memilih mengabaikannya. Dia sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun.

"Kamu sudah sarapan, Ndra?"

Ibu tiba-tiba sudah berdiri di daun pintu. Andra langsung beranjak dari tempat tidur dan mencium punggung tangan Ibunya.

"Nanti saja, bu. Andra mau tidur sebentar."

"Ya sudah kamu istirahat dulu saja. Ibu siapkan makanan untukmu."

Ibu melangkah keluar lagi dari kamar. Andra menatap punggung ibunya yang terlihat semakin kurus. Selama ini, Ibu tinggal sendiri di rumah peninggalan Ayah. Ibu selalu menolak setiap kali Andra mengajaknya untuk tinggal bersamanya. Ibu lebih memilih tinggal di rumahnya sendiri karena dengan begitu Ibu tidak akan merasa berpisah dengan Ayah. Ibu memang sangat mencintai Ayah, begitu pula sebaliknya. Mereka bahkan memutuskan untuk menikah muda saat itu. Sayangnya, kisah cinta itu tidak berlaku untuk anak mereka. Meski sudah hampir menginjak angka 35, anak semata wayang mereka masih saja tidak memiliki seorang perempuan yang akan diajak menikah.

Andra melangkah kembali ke tempat tidur. Dia menutup kepalanya dengan bantal agar suara-suara yang berkelebat di kepalanya berhenti berisik.

Sementara di luar sana, burung-burung sedang merayakan keindahan pagi ini. Matahari juga tidak begitu terik. Daun-daun bergerak pelan karena terpaan angin.

-00-

Same Sky Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang