17. Punthuk Setumbu

246 38 2
                                    

Jam 12 malam. Jalanan Jogja sudah cukup sepi. Hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Andra menghentikan mobil Ale di tepi jalan. Di sampingnya, Ale sedang tertidur. Sudah sejak satu jam yang lalu, Andra sengaja membiarkan Ale tidur. Wajahnya tampak lelah. Matanya pun sembab. Dia tertidur, mungkin karena lelah menangis.

Andra menggenggam papercup dan meminum sedikit kopi hitam yang hampir habis. Setidaknya, kopi ini akan membantunya terjaga malam ini. Dia lalu meletakkan cangkir di sisi pintu mobil lalu mulai menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Matanya terjaga dan sama sekali tidak mengantuk. Pikirannya mengajaknya berjalan-jalan tentang peristiwa yang terjadi hari ini. Sosok laki-laki yang tadi dilihatnya dan membuat Ale menjadi seperti ini terus bermain-main di otaknya. Apa yang telah dilakukannya pada Ale hingga melukainya sangat dalam?

"Kamu memikirkan apa, Ndra?"

Andra langsung terbangun dari lamunannya. Dia menoleh dan melihat Ale sudah terjaga. Pandangan Ale tertuju padanya meski kepalanya masih bersandar di kursi.

"Kamu sudah bangun?" Andra mengalihkan pembicaraan. Dia tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan Ale.

Ale mengedip. Dia masih terlihat lelah. Sudut bibirnya tertarik ke samping. Senyum yang sedikit janggal karena wajahnya masih sedih. Matanya juga sembab.

"Kita di mana?" Ale kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Hanya ada sebuah minimart di sisi jalan.

"Dalam perjalanan ke Magelang."

"Magelang? Ngapain?"

"Ke Punthuk Setumbu."

"Hah? Ngapain kesana?"

"Menghibur kamu."

Andra menjawab sekenanya.

"Mau ikut makan Pop Mie di dalam sana?" Andra menunjuk ke arah minimarket. Sejak tadi, perutnya sudah berbunyi. Dia belum mengisi perutnya sejak pagi.

Ale tampak berpikir, sampai akhirnya dia mengiyakan. Dia berjalan turun dari mobil mengikuti langkah Andra yang sudah lebih dulu.

"Ayam Bawang? Bakso? Kari? Atau Pedas?" tanya Andra saat sudah masuk minimart.

"Terserah kamu aja."

"Kopi?"

"Boleh."

Andra lalu berjalan menuju rak yang berisi berbagai macam makanan. Dia mengambil dua mangkuk mie, lalu membawanya ke kasir. Sementara Ale berjalan menuju kursi yang langsung menghadap ke kaca.

Langit sudah sangat gelap. Jalan raya juga sudah sepi. Di sisi-sisi jalan tampak sisa-sisa air hujan yang menggenang. Ale melirik jam tangannya. Sudah hampir jam 1 malam. Dia lalu mencari ponselnya. Ada satu pesan yang masuk dari Papanya. Papa hanya mengatakan untuk berhati-hati saja. Tadi, sebelum akhirnya tertidur, Ale sudah terlebih dulu bilang kalau dia akan menginap di rumah Hellena malam ini.

"Ini." Andra menyorongkan Pop Mie rasa kari di depan Ale dan juga segelas kopi latte.

"Thanks." Ale tersenyum tipis. Dia tersenyum karena dia ingin menghargai laki-laki di sebelahnya ini, yang sudah mengorbankan dirinya dan waktunya untuk menemaninya malam ini. Ale melirik Andra yang tengah meniup-niup mie yang dipegangnya. Pasti dia sangat lapar sekarang, pikir Ale.

Ale meraih mie yang sudah disiapkan Andra dan mulai membukanya. Uap panas langsung menyembul keluar dan mengeluarkan aroma mie yang sangat menggoda hidung. Dia harus makan, meski hatinya sedang tidak menginginkan apapun kecuali beristirahat. Hatinya sangat lelah hari ini.

-00-

Semburat jingga mulai muncul di ujung timur. Langit yang gelap mulai berwarna. Di ujung timur sana, gunung merapi yang tinggi mulai terlihat. Perlahan, awan-awan mulai berarak seolah sedang melengkapi keindahan yang disuguhkan matahari pagi. Langit fajar tidak kalah cantiknya dengan senja. Ujung tertinggi Borobudur mulai terlihat seiring dengan langit yang semakin terang. Keindahan ini menjadi bukti bahwa setelah hujan deras semalam, langit telah menjanjikan keindahan pagi harinya.

Same Sky Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang