Dua belas

36.5K 1.8K 11
                                    

Seorang wanita tengah memandangi pantulan dirinya di sebuah cermin, ia sangat tidak percaya diri keluar dengan dandanan seperti ini. Ya, ini semua ulah sahabatnya itu. Zella bilang ia harus tampil cantik malam ini.

"Zell, hapus sedikit, ya, make up-nya? Tidak nyaman, Zell," ucap Lia. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar. Benar-benar risih dengan gaun yang dipilihkan Zella.

Zella memutar bola matanya malas. Tidak bisakah Lia menilai mana make up yang tebal dan make up yang tipis?

"Lia, ini udah paling tipis make up-nya. Kalau dihapus lebih baik tidak usah pakai make-up saja," ucap Zella kesal. Ia benar-benar jengkel dengan sahabatnya yang satu ini.

"Ta—"

"Cukup percaya diri, kau sangat cantik malam ini dan aku yakin pangeranmu semakin jatuh cinta padamu, Lee," potong Zella cepat.

Lia mendelik sebal. Menurutnya, Zella sangat berlebihan.

Terdengar suara klakson mobil menghentikan kegiatan mereka.

Zella menatap Lia sembari tersenyum. "Pengawalnya udah dateng, tuh. Sana berangkat," ucap Zella

Lia mengangguk. "Aku berangkat, Zell. Aku titip anak-anak, ya. Hubungi aku kalau mereka rewel."

"Siap kapten," balas Zella sembari memberi hormat.

Lia meraih tas slempang yang senada dengan dress-nya. Ia mencium ketiga buah hatinya yang masih tertidur pulas. Ketiganya terlihat sangat kelelahan setelah bermain dengan Kia—anaknya Zella.

•••

Lia memasuki restoran bintang lima, ia merasa bahwa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.

Lia memejamkan matanya sebentar. Menarik napasnya dan mengembuskannya perlahan. "Aku siap," gumam Lia sembari melangkah menghampiri meja yang sudah Al pesan.

"Maaf, aku terlambat."

Al mendongak. Tatapan terpaku pada wanita di depannya. Dress hitam selutut, rambut panjang yang di biarkan tergerai, sepatu high heels dan tak lupa tas slempang yang senada dengan bajunya. Riasan make up yang begitu sederhana semakin membuat cantik paras wajahnya.

Al menelan salivanya susah payah. Wanita di depannya benar-benar cantik. Sama seperti empat tahun yang lalu. Yang membuatnya beda adalah wanita itu semakin dewasa.

Lia menatap Al yang sedari tadi hanya diam menatap ke arahnya. Apa ia terlihat aneh dengan tampilan seperti ini? Jika, iya. Ini semua salah Zella. Ingatkan ia untuk memberi ceramah pada Zella.

"Al, kenapa? Ada yang aneh?" tanya Lia.

Al tersadar. Menatap wanita di depannya yang sudah duduk manis di tempatnya. "Tidak, kau sangat cantik," ucap Al jujur. Ya, ia akui malam ini wanita itu benar-benar cantik.

Lia memutar bola matanya malas. "Apa yang mau di perjelas? Cepat, aku harus segera pulang."

"Kenapa buru-buru?" tanya Al. Padahal ia berharap kalau malam ini ia dan wanita itu bisa menghabiskan waktu malam ini dengan Lia. Anggaplah untuk memperbaiki hubungannya dengan Lia.

"Aku menitipkan anak-anakku di rumah sahabatku. Aku harus segera pulang sebelum mereka rewel," jelas Lia.

Al tersenyum. Ia hampir lupa jika wanita ini sudah memiliki anak. Tentu saja darah dagingnya.

"Kau ke mana aja, Lee? Kenapa setelah malam itu kau pergi begitu aja? Aku mencarimu selama bertahun-tahun," jelas Al.

"Aku harus pindah rumah karena pekerjaan orang tuaku, Al," ucap Lia berbohong.

Al menatap Lia lama. "Aku tahu kau bohong, jawab yang jujur, Lia."

Lia memalingkan wajahnya kearah lain. Al masih sama seperti empat tahun lalu. Sangat sulit dibohongi. "Aku tidak bohong," sangkal Lia.

"Liha aku, Lia," pinta Al.

Lia memberanikan diri untuk menatap mata tajam Al. Nyalinya menciut.

"Bohong," papar Al sembari memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Jawab aku, Marchellia," perintah Al dengan tegas.

***

"Kak, jangan. Aku mohon."

"Lee, Aku janji aku akan tanggung jawab," ucap laki-laki itu dengan suara serak menahan nafsu yang sudah di ujung tanduk.

Lia menggeleng keras. "Aku tidak mau, Kak!"

Al tidak mendengar. Ia semakin gencar menjalankan aksinya, sedangkan, Lia? Wanita itu terus saja menangis dan menjerit.

Lia memandangi laki-laki yang berada di sampingnya, laki-laki yang terpaut usia cukup jauh dengannya. Lia meratapi nasibnya. Di usianya yang ke delapan belas ia harus kehilangan kehormatan yang sudah ia jaga. Kehormatannya di renggut secara paksa oleh laki-laki yang begitu Ia sayangi. Sosok laki-laki yang sudah Ia anggap seperti kakak kandungnya sendiri. Lia menatap Al dengan tatapan sendu. Dengan cepat ia memunguti pakaiannya dan bergegas memakainya. Ia harus segera keluar sebelum Al bangun.

"Ayah, Bunda. Maafin, Lia," batin Lia.

Sepanjang jalan Lia terus menangis sehingga ia tidak sengaja menabrak seorang wanita yang tengah hamil itu.

"Maaf, saya tidak sengaja," ujar wanita itu.

Lia menghampiri wanita hamil itu dan membantunya berdiri. "Aku yang harusnya minta maaf karena menabrakmu."

Lia mengalihkan pandangan pada perut buncit wanita itu. "Apa perutmu sakit?" Ia benar-benar khawatir. Takut janinnya kenapa-napa di dalam sana.

Wanita itu menggeleng. "Tidak, dia baik-baik saja," sahutnya sembari mengelus perutnya.

Lia tersenyum lega.

"Oh, ya. Aku ingin bertanya sesuatu. Apa kau pernah melihat pria ini?" tanya wanita itu sembari menunjukkan selembar foto seorang pria.

Jantung Lia seakan berhenti berdetak. Pikirannya melayang pada pria yang sudah merenggut kehormatannya. Ya, Tuhan. Ternyata ia akan memiliki anak. Dasar laki-laki brengsek! Kau lihat saja, aku akan pergi dari kehidupanmu.

Lia tersenyum tipis. "Aku tidak pernah kenal dan tidak pernah melihatnya.

Setelah berpamitan. Lia langsung bergegas pergi meninggalkan tempat terkutuk ini.

Sesampainya di rumah, Lia menceritakan semuanya pada orang tuanya. Ayah marah besar mendengar berita itu, begitu juga dengan Ibu.

Lia memohon pada orang tuanya untuk pergi meninggalkan Indonesia. Ia ingin melupakan laki-laki itu.

Orang tuanya setuju dan sang ayah bergegas mengurus semuanya. Mereka akan tinggal di Los Angeles untuk sementara.

Di Los Angeles, Lia dinyatakan hamil dan usia kandungnya sudah menginjak dua bulan. Antara sedih dan senang. Ia senang karena di dalam rahimnya kini tumbuh malaikat kecil yang tidak berdosa. Ia juga sedih karena harus mengandung di usianya yang masih terbilang remaja dan yang pasti tanpa sosok suami di sampingnya.

Lia bersyukur kedua orang tuanya mau membantunya melewati masa-masa kehamilannya.

***

DADDY [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang