Tujuh belas

32K 1.6K 10
                                    

"Dari mana jam segini baru datang, Al?"

Suara berat menyapa indra pendengaran Al saat ia baru memasuki ruangannya.

Al berjalan menghampiri pria paruh baya yang sedang duduk di sofa yang berada di ruangannya.

Al mencium punggung tangan pria paruh baya itu. "Papih," sapa Al.

"Kamu dari mana jam segini baru datang ke kantor?" tanya Ikmal—papihnya Al.

Al mendudukan dirinya di samping sang ayah. "Ada urusan, Pih."

"Pih, Al mau menikah."

Ikmal menoleh. Menatap putranya dengan tatapan berbinar. "Serius? Siapa? Bawa ke rumah," ucap IkmalIkmal begitu antusias. Mengingat usia putra bungsunya yang sudah cukup usia untuk membina rumah tangga.

Akhirnya, pernyataan yang di tunggu-tunggu olehnya terucap dari mulut anak bungsunya.

"Sama Lia, Pih. Perempuan yang waktu itu Al ceritain."

Ucapan Al sukses membuat Ikmal menatapnya dengan tatapan dingin.

"Papih tidak setuju."

"Kenapa? Bukannya ini yang papih sama mamih mau?" tanya Al. Padahal orang tuanya selalu bertanya kapan ia akan menikah.

"Kalian terpaut usia yang cukup jauh, Aldren," ucap Ikmal.

"Kenapa, Pih? Al sayang sama Lia."

"Papih tidak setuju."

"Ta—"

"Jangan bantah papih, Aldren!"

Al menahan emosinya agar tidak meledak di depan sang ayah. "Mau papih setuju atau tidak, Al tidak peduli, Pih. Al akan tetap menikahi Lia. Wanita yang sangat Al cintai sejak dulu," sahut Al.

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi Al membuat laki-laki itu menoleh ke samping.

"Papih bilang tidak, ya, tidak, Al!"

"Maaf, Pih. Untuk kali ini Al membantah ucapan Papih. Al punya tanggung jawab besar, Pih. Bukan hanya Lia, tapi ada anak-anak Al yang saat ini butuh, Al."

Ikmal tersentak mendengar ucapan Al. "Anak-anak?"

"Iya, Pih. Al memiliki tiga anak kembar bersama Lia."

Ikmal menggeleng. "Bisa saja itu anak wanita itu dengan laki-laki lain."

Al berjalan ke meja kerjanya. Mengambil selembar amplop yang ia simpan di dalam laci dan menyerahkannya pada Ikmal.

Ikmal terkejut melihat kertas yang ada di dalam amplop itu. Kertas yang berisi hasil tes DNA.

Ikmal melempar kertas itu asal. "Papih sama mamih tetap tidak akan datang ke pernikahan kamu," ucap Ikmal sembari melangkah pergi meninggalkan Al.

Al mengambil kertas itu, kemudian tersenyum kecut. Kejadian yang kembarannya rasakan kini akan terjadi padanya. Menikah tanpa ada kedua orang tua di sisinya.

Keputusan Al sudah bulat. Ia akan tetap menikahi Lia dan membesarkan anak-anaknya bersama wanita itu. Jika saudara kembarnya saja bisa melewati ini semua, kenapa ia tidak? Ya, Al harus bisa.

Al menduduki dirinya di kursi kebesarannya. Mengusap kasar wajahnya.

"Stev, tolong bawakan aku obat sakit kepala," perintah Al melalui sambungan telpon.

Tak lama, Stev datang dengan obat sakit kepala dan sebotol air mineral. Al langsung menyambarnya dan meneguknya.

Stev melihat Al dengan bingung. "Kau kenapa, Al? Tidak biasanya minum obat."

Al menggeleng. "Tolong kau urus semuanya, Stev. Kepalaku sakit, aku butuh istirahat sebentar," ucap Al sembari melepas jasnya.

Stev mengangguk patuh. Tidak ingin banyak bertanya seperti biasanya. Pria itu langsung bergegas keluar meninggalkan Al.

•••

Malam harinya, Al sudah tiba di rumah Lia. Mereka tengah bersiap untuk menemui orang tua dari wanitanya itu.

Lia dengan telaten mengikat rambut Keyra menjadi satu. Menyisakan poni yang menutupi keningnya.

"Cantik," ucap Lia kemudian mengecup pipi Key.

Gadis kecil itu tertawa. "Mommy juga cantik," balas gadis itu.

"Sepatu datang," ujar Al sembari menyerahkan sepatu-sepatu itu pada ketiga anaknya.

Al dan Lia hanya memperhatikan ketiga bocah itu yang sedang berusaha memakai sepatunya dengan susah payah.

Al sendiri merasa tidak tega. Namun, Lia melarangnya untuk membantunya. Membiarkan ketiga bocah itu berusaha sendiri. Bukannya jahat, Lia hanya mau anak-anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri.

Setelah semuanya selesai, mereka langsung bergegas menuju rumah orang tuanya Lia.

•••

Sesampainya di sana, mereka langsung di sambut hangat oleh orang tua Lia.

"Ayah, Bunda. Ada yang ingin Lia sampaikan."

Lia menatap ketiga anak-anaknya. "Kalian main sendiri dulu, ya. Nanti mommy sama daddy nyusul," ujar Lia yang diangguki mereka.

"Apa yang ingin dibicarakan?" tanya Frenky—ayahnya Lia—setelah memastikan ketiga cucunya masuk ke ke dalam ruangan bermain.

Al menghirup napasnya dalam-dalam. "Sebelumnya saya minta maaf jika kehadiran saya mendadak. Saya ke sini ingin minta izin untuk menikahi putri om dan tante."

"Mendadak sekali, kamu tahu, 'kan kalau anak saya sudah memiliki tiga orang anak?"

"Saya adalah ayah kandung dari ketiga anak Lia."

Frenky yang mendengar pengakuan dari Aldren pun emosi. Ia tak menyangka jika pria yang sedang berbicara dengannya adalah pria yang sudah merenggut paksa kehormatan putrinya. Pria yang sudah membuat putrinya menderita.

Frenky menarik Al dan langsung meninju Al.

Bugh!

Bugh!

"Ayah!" pekik Meira dan Lia histeris.

Frenky menarik kerah baju Aldren. "Jadi kau yang merusak masa depan putriku, hah? Seorang anak yang saya bahagiakan dengan penuh kasih sayang, selalu saya jaga, dan kau dengan mudahnya merusak masa depan putriku? Kau tahu, karena ulahmu yang tidak bertanggung jawab membuat saya merasa bersalah sebagai seorang ayah! Ayah yang merasa gagal menjaga putrinya! Brengsek kau." Frenky kembali meninju Aldren membuat Al tersungkur berkali-kali.

Aldren hanya bisa pasrah. Menurutnya, ia pantas menerima ini semua. Anggap saja sebagai hukuman.

"Ayah, stop!" ujar Lia sembari menghampiri Aldren yang sudah tersungkur dan darah segar mengalir dari hidung dan sudut bibirnya.

"Sadar, Marchellia. Ia sudah menyakitimu, Nak," ujar Frenky.

"Lia tahu, Ayah. Itu sudah masa lalu. Sekarang Lia sangat mencintai dan menyayangi Aldren," ujar Lia sembari memeluk Al.

Meira yang melihat suaminya tersulut emosi pun segera memeluk suaminya dari belakang. "Ayah sudah, beri Aldren kesempatan untuk menjelaskan semuanya," ujar Meira berbisik lembut.

Perlahan emosi Frenky surut berkat pelukan sang istri. "Urus pria brengsek itu!" ujar Frenky berlalu begitu saja.

Meira menghampiri Aldren. "Jangan di ambil hati, ya, Nak. Maafin om. Ia hanya belum menerima kenyataan," ujar Meira sembari tersenyum.

Aldren mengangguk. "Iya, Tan. Saya mengerti. Saya pantas menerima ini semua," sahut Al sembari tersenyum tulus.

"Lee, kau obatin Aldren, ya. Bunda mau susul ayah dan nenangin ayah."

Lia mengangguk. "Iya, Bunda."

DADDY [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang