31. Yang Hidup dan Yang Mati

128 12 2
                                    

I love you til the last of snow disappears
Love you til a rainy day becomes clear
I love you so much, you'll know it,
Ysabelle Cuevas

***

Author POV

Gino mendatangi taman itu lagi, dia terduduk di kursi yang sudah sering ia duduki selama beberapa kali mengunjungi tempat ini. Kursi dimana dari tempatnya duduk, dia dapat melihat orang yang dia cintai bercengkerama dengan pria lain.

Lili, mengucap nama itu selalu membuat hatinya merasakan perasaan aneh. Dia tak menyangka kisahnya akan berujung seperti ini, namun ia enggan menganggap bahwa ini adalah akhir dari kisah cintanya.

Selama berbulan-bulan dia berusaha melarikan diri. Dia hanya mampu memandang gadisnya dari kejauhan, memastikan gadis itu dalam keadaan baik.

Sebenarnya Gino tak benar-benar lari, dia selalu ada disekitar Lili. Semua kejadian demi kejadian yang terjadi pada gadis itu, dia mengetahuinya.

Sebagai orang yang diamanahkan untuk menjadi Lili, tentu Gino melakukan hal itu dengan baik, walau harus ada jarak yang ia jaga.

Gino tau bahwa Lili bukanlah pendendam, namun dia juga tau, gadis itu butuh waktu lebih untuk menerima dan melupakan semuanya.

Kendati gagal menjaga gadis itu, setidaknya di surga, Randy melihat bahwa dia sudah berjuang untuk tidak gagal.

"Kalau lo punya kaki buat jalan kesana, kenapa lo selalu milih buat diam diri disini?"

Perkataan itu membuyarkan lamunan Gino, refleks dia menoleh dan mendapati Lili yang sudah duduk disampingnya.

"Lili?" Gino tak dapat menyembunyikan kekagetannya.

Lili mengangguk, "Iya, ini gue."

Gino kembali menatap area bawah pohon yang biasa digunakan mereka untuk berkumpul, dulu.

"Gue punya kaki untuk berjalan kesana, tapi gue nggak punya cukup nyali untuk kesana." Ujar Gino jujur.

"Sama seperti lo yang nggak punya nyali buat bilang kalau lo suka sama gue?" Tanya Lili yang terdengar vulgar bagi Gino.

Gino terdiam, dan akan terus memilih untuk tetap diam.

Lili menghembuskan nafas kasar, "Hubungan kita berjalan dengan baik selama dua tahun lebih, kita selalu berseberangan pendapat namun tak pernah benar-benar sepenuhnya bertengkar."

Gino mengangguk membenarkan.

"Rasa kehilangan itu pasti ada, dan aku sulit untuk beradaptasi dengan itu."

Gino terdiam karena kini Lili mulai berbicara formal padanya. Dia masih mencerna apa yang ada di kepala gadis itu dan kemana akan dibawa pembicaraan ini.

"Disaat aku udah mulai jatuh, kamu malah acuh dan menjauh. Dan ternyata butuh waktu lama untuk menerima semua itu, ya?" Lili terkekeh.

Gino pun ikut tersenyum getir.

"Aku selalu bertanya, sebenarnya waktu sedang sebercanda itu pada kita atau kita yang sedang sebercanda itu pada waktu?"

"Sepertinya pilihan kedua lebih cocok." Gino mulai bersua.

Lili mengangguk, "Kamu benar, itu sebabnya aku kesini."

Gino membiarkan Lili melanjutkan perkataannya.

"Maka dari itu, aku tidak ingin lagi bercanda dengan waktu."

"Aku juga."

Keduanya mengangguk, hening.

Mungkin ini saat yang tepat untuk Lili mengungkapkan semuanya. Memang tidak ada yang benar-benar bahagia dengan perpisahan, namun setidaknya dia harus berpamitan.

Sejalan dengan yang dipikirkan oleh Gino, lelaki itu juga sedang merangkai kata untuk diutarakan.

"Aku pamit." Ujar keduanya bersamaan.

Mata keduanya bertemu, mereka saling bertatap lama, seolah ini adalah kali terakhir keduanya dapat bertemu dan saling menatap. Seolah ini adalah kali terakhir mereka dapat melihat satu sama lain.

Aku pamit. Kata itu mengandung beberapa makna ambigu bagi para pendengarnya.

Sebagian menafsirkan bahwa itu hanyalah kata-kata yang diucapkan ketika seseorang ingin meninggalkan suatu tempat. Sebagian lagi menafsirkan bahwa kata-kata tersebut mengandung makna bahwa perpisahan itu nyata dan tak akan ada lagi pertemuan selanjutnya dikemudian hari.

Entahlah, sudut pandang yang berbeda memang selalu menghadirkan perspektif yang berbeda pula.

Keduanya mengangguk bersamaan, mati-matian keduanya menahan untuk bertanya lebih dalam tentang maksud satu sama lain.

"Boleh aku peluk kamu?" Tanya Gino.

Lili terdiam, orang di depannya seperti bukan orang yang dia kenal sebelumnya. Gino si badboys, setidaknya sebagai seorang badboys, dia sering tiba-tiba merangkul pundak Lili, bahkan bermanja pada gadis itu saat ada Randy merupakan hal yang biasa baginya. Meski sudah diingatkan untuk tidak melakukan hal-hal konyol seperti itu guna menjaga perasaan Randy, namun Gino tetap melakukannya. Tujuannya memang untuk membuat Randy cemburu, namun dia yakin bahwa sahabatnya itu tidak akan meninggalkan Lili apapun yang terjadi. Terbukti, hanya mautlah yang memisahkan keduanya, sungguh kisah yang tidak diharapkan oleh para pembacanya.

Tanpa menjawab, Lili menarik Gino ke pelukannya, menghirup aroma parfum Gino yang selama ini menjadi kesukaannya. Membiarkan beban itu jatuh, melebur jarak yang selama ini dia jaga.

Pun halnya dengan Gino, dia menghirup aroma rambut Lili yang menjadi kesukaannya. Matanya terpejam mengulang semua yang telah terjadi padanya dan juga gadis yang kini diperlukannya.

Pelukan itu semakin erat, seolah semuanya akan berakhir disini, seolah-olah pelukan ini adalah upacara penyambutan hari penuh haru. Hari dimana keduanya tak akan pernah bisa melakukan hal ini dikemudian hari.

Tak terasa air mata keduanya mulai luruh, keduanya menangis dengan diam. Bahkan disaat keduanya telah dipertemukan pun, keduanya masih tidak dapat mengutarakan apa yang ada dihati.

Dan begitulah hari ini berlalu, setidaknya jika harus pergi, keduanya tidak akan menyesal karena telah sama-sama mengucap kata pamit.

***

Lili berjalan sendirian di area pemakaman, tempat dimana tubuh Randy beberapa bulan yang lalu dimakamkan.

Tak butuh waktu lama, dia langsung menemukan pusara terakhir Randy, dia terduduk disana, meletakkan bunga yang sengaja dia bawa, memanjatkan doa lalu menatap nisan disana.

"Be, apa kabar?" Lili memulai monolog nya.

"Kamu pasti udah senang kan di surga sana? Kamu pasti udah bahagia kan?"

Satu air tetes air mata Lili luruh, "Maaf ya aku jarang kesini, maaf juga kalau aku udah jatuh ke lain hati, kamu nggak marah kan?"

Lili menghapus air matanya, "Selepas ini, aku pasti akan sangat jarang datang kesini, tapi aku janji kok bakalan terus kirim doa buat kamu."

Lili mengelus batu nisan Randy, "Kamu jangan lupa mampir ke mimpi aku ya, sering-sering juga nggak papa, biar aku nggak rindu."

Lili mencium nisan itu lama, air matanya jatuh membasahi nisan itu, "Aku pamit ya be, kamu baik-baik di surga, aku bakal lanjutin hidup aku dengan penuh ceria kok, aku bakal terus-terusan senyum dan ketawa karena kata kamu itu yang bikin orang lain jatuh cinta ke aku kan?"

Lili berdiri dari duduknya, menatap pusara Randy lama, sebelum akhirnya dia melangkah pergi dari sana.

"Selamat tinggal bee, kamu akan selalu ada di hati ini, selalu, tak akan pernah terganti." Ujar Lili sebelum kembali melajukan mobilnya meninggalkan area pemakaman.

Antara Kita (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang