5; Hitungan Hari

10.3K 1.6K 145
                                    

Ara menatap Doy ragu. Bibirnya ia gigit menandakan ia ragu dengan dirinya sendiri. Seakan paham, Doy menunggu Ara berbicara.

"Aku pernah, suatu hari ngerasain keraguan dalam diri aku." Ara menatap kaget Doy.

Bagaimana dirinya tau, kalau Ara sedang merasa ragu dengan dirinya sendiri?

"Aku bertanya-tanya ke diri sendiri, 'gue bakal nikahin anak orang lhoo.. 'apa gue mampu?' 'Apa gue siap nikah muda? 'Apa gue bisa bertanggung jawab?' 'Apa gue bisa nanti jadi kepala keluarga?'"

Doy menatap dalam Ara, "Aku pernah ngalamin hal itu semua."

"Terus, gimana kamu mencari jawabannya?"

Doy tersenyum tipis, "Kalo aku mau tau jawabannya, bukankah harus di lalui dulu, baru kita tau jawabannya seperti apa? Karena aku penasaran, apa aku bisa, jadi aku ikutin aja prosesnya."

"Saat ini aku berada di tahap belum tau jawabannya, gimana mau tau jawabannya kalo prosesnya aja gak kita lalui?"

Ara terdiam, menundukkan kepalanya, "Aku juga sama lagi ngerasain hal itu, Doy.."

"Makanya..." Doy menatap lekat Ara

"Kita lewatin bareng-bareng... kita lalui proses ini sama-sama.."

Ara menganggukkan kepalanya, "Iya.."



Selama seminggu ini, Ara sibuk menyelesaikan pembayaran uang untuk persiapan pernikahannya yang bisa di hitung 1 bulan lagi. Sekarang, ia tinggal hanya menunggu hari itu tiba.

Doy seperti biasa, masih bergelut dengan pekerjaannya untuk tabungan jangka panjang. Sesekali mereka ketemu, tapi itu terhitung jarang. Ara juga menikmati masa lajang sebelum dirinya berganti status nanti.

"Dek, nanti katanya Nak Dhika mau kesini ya?" Kata mamah Ara yang sedang menaruh beberapa lauk pauk di meja makan

Ara mengangguk, matanya masih tidak lepas dari tv, "Iya, mau numpang buka."

"Kamu puasa juga?"

"Nggak, lagi dapet."

"Kamu gak ganti baju?"

"Kenapa?"

"Hei, kamu tuh bentar lagi nikah, mamah ya dulu pas mau nikah tuh rajin banget ngurus diri. Nih, badan tuh di lulur biar dakinya pada murulukan."

"Iya ah nanti aja..."

"Nanti nanti, ntar lupa lagi. Heh, kamu kan bentar lagi bakal punya suami, rawat diri dongg.. emang mau ntar pas malam pertama nak Dhika liat kamu dekil?"

Ara langsung membuka mulutnya lebar dan memasang wajah kesal, "Ish! Mamah apaan sih! Ngomongin kaya gitu???!!!!"

"Dih, malu? Ahahhha udah ah sana siapin manis buat Nak Dhika."

Ara hanya mendengus kesal dan berjalan menuju dapur membuat teh manis untuk Doy nanti.

Selang beberapa menit, Doy sudah datang ke rumah Ara. Ia masih mengunakan setelan kemeja formal khas guru sekolahan. Doy nggak lupa membawa beberapa kue brownis untuk orang rumah.

"Mah, ini Dhika tadi beli pas jalan mau kesini." Kata Doy sambil menaruh beberapa brownis di atas meja makan.

"Aduh, makasih sayang.. ayo duduk, Dek!! Nak Dhika ini! Cepet dong"

"Iya atuh tunggu mah ini panas bawanya harus hati-hati.." kata Ara sambil bawa beberapa gelas berisi teh manis hangat di nampan

Doy menghampiri Ara dan membantu membawa nampan berisikan teh itu darinya, "Sini.." kat Doy, Ara hanya memberikannya ke Doy

"Udah sholat?" Tanya Ara ke Doy

Doy mengangguk, "Udah tadi mampir dulu di masjid pinggir jalan.."

Mamah Ara memberi kode kepadanya untuk memberi nasi ke piring Doy, namun bukan Ara yang susah mengerti kode dari mamahnya itu.

"Apa sih mah?"

Mamah Ara hanya memutar bola matanya malas dan mau nggak mau mamahnya lah yang memberikan nasi ke piring Doy, "Dhika, nanti kalo udah nikah, kamu harus sabar yaa ke Ara..."

Doy menatap mamahnya Ara kemudian menatap Ara bingung, belum mengerti apa yang mamahnya maksud, "Iya mah?"

"Kenapa emangnya aku?!" Kata Ara

"Kamu tuh ya dek, mamah kodein biar kamu yang kasih nasi ke nak Dhika malah telmi... kamu sebulan lagi lho bakal di amhil nak Dhika.."

Doy hanya tertawa sambil menerima nasi pemberian mamah Ara.

"Gimana Nak? Kerjaan hari ini capek ya?"

"Alhamdulillah lancar mah, capek sih tapi Dhika seneng jalaninnya."

"Bagus lah. Oh ya, kalian rencan habis nikah mau tinggal dimana?"

Pertanyaan mamahnya Ara otomatis membuat Ara dan Doy menghentikan aktivitas makannya dan saling bertatapan, bingung harus jawab bagaimana ke mamahnya Ara

"Mmm, mau cari kontrakan kali..." kata Ara santai

"Kontrakan? Emang kalian ada uang?"

Ara dan Doy kembali saling bertatapan lagi, "Hm, mah, kayanya kita bakal tinggal dulu di Rumah Dhika, sampe dapet rumah kontrakan.."

"Lho, kenapa dirumah nak Dhika?! Kenapa gak disini aja?"

"Soalnya disana masih ada kamar kosong mah, jadi bisa kita tempatin.." kata Ara

"Kamu mau cepet-cepet pisah dari mamah yaa?"

"Ish apaan sih? Kemaren nyuruh-nyuruh adek cepet nikah, sekarang mau nikah malah di tanya-tanya gituu!"

Mamah Ara dan Doy tertawa, "Iya deh iya..." kata mamah Ara











Hari ke hari tak terasa cepat berlalu, hari menuju pernikahan Ara dan Doy pun terhitung 3 hari lagi.

Selama itu, Ara mulai senam di pagi hari dan luluran di rumahnya, tapi ia juga menyuruh Doy untuk merawat tubuhnya juga.

Ara dan Doy sudah hampir 1 minggu lebih tidak saling bertemu, katanya orang yang akan nikah memang sebaiknya dekat-dekat pas hari pernikahan lebih baik jangan dulu bertemu. Katanya.

"Hallo? Kenapa Doy?"

"Kamu lagi apa?"

"Lagi habis lari nihh.. kamu?"

"Lagi diem..."

"Udah makan?"

"Udah..."

"Sama apa?"

"Sama sayur kangkung.."

"Umi yang masak?"

"Iyaa, siapa lagi?"

"Ohh, terus minumnya apa?"

"Air putih.."

"Gak minum susu?"

"Gak ah, ntar gemuk.."

"Ihhh cowok tuh lucu gemuk.."

"Gak mau ah.."

"Ya deh, kok kamu gak nanya aku sih udah makan apa belom?!"

"Udah kan?"

"Udah sih..."

"Yaudah..."

"Udah ah aku mau mandi."

"I love you..."

"Hah?!"

"Sampe ketemu tanggal 16 calon istriku.."

Flip

"Doy gila..."

"Jantung guaaaaaaahhh!!!!"

Calon Imam • Kim Doyoung vol.2✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang