Ada satu pepatah lama yang mungkin bisa menjadi satu gambaran atas bagaimana berkecamuknya perasaan Mino saat ini.
Biarlah waktu yang akan menghapus semua luka.
Tapi nyata nya, perasaan terluka itu masih saja terasa sakit ia rasakan. Perasaan itu masih saja mengusik ketenangan batinnya yang baru saja ia coba rasakan. Mino yang berusaha memperbaiki kembali hidupnya, Mino yang berusaha bangkit dari sisi terkelam dalam hidupnya seolah kembali dilemparkan kedalam jurang gelap yang tidak berujung.
Song Jaemin mematung dengan bibir menyeringai. Persetan dengan kekurang ajaran yang baru saja ia lontarkan. Ia sudah siap kalau tangan yang biasanya mendekapnya dikala hatinya gundah itu berbalik memukulnya, ia bahkan sudah siap dengan emosi yang seketika terlihat dari raut wajah papinya. Si tuan fakboi.
Apa Jaemin perduli? Awalnya iya, Jaemin berusaha memahami bagaimana kondisi pahit yang kini harus ia alami. Ia berusaha untuk tidak menunjukan bagaimana rasa sedihnya, ia ... Berusaha untuk tidak menyalahkan Mino maupun Irene. Ia tahu ko mereka manusia dewasa yang juga memiliki masalah. Manusia dewasa yang terkadang memiliki ego dan amarah.
Bukan perpisahan antara Mino dan Irene yang membuat Jaemin benci pada pria ini. Bukan.
Ia dan Jeno sudah berada pada tahap menerima semuanya dengan hati terbuka. Bersiap melanjutkan hidup dengan hati dan perasaan yang terpecah belah, terberai diantara kebingungan.
Bukan perpisahan yang ia sesali, tapi bagaimana cara Mino melanjutkan hidupnya setelah memutuskan untuk berpisah dengan ibunya. Bagi Jaemin itu bukan sesuatu yang wajar dilakukan oleh pria tua sekelas Song Mino.
Ia bahkan sempat menduga kalau papinya ini sedang memasuki masa puber untuk yang kedua kalinya? Begitukan analogi yang sering diasumsikan oleh pengamat-pengamat pernikahan. Seperti yang pernah Jeno katakan ketika perceraian kedua orang tua mereka berada di ambang akhir.
"Papi ga terima kan?" Tanya Jaemin dengan nada menantang. Kedua tangannya terlipat didada dengan seringai yang kini terarah pada Mino yang menatapnya tanpa suara.
"Na .... Berapa kali papi harus ngomong"
"Ngomong sama Jeno, apa papi pernah hubungin Jeno semenjak papi cerai sama mami? Apa papi lupa punya anak lain selain aku--"
"Song Jaemin!"
"Tsk"
"Kalian bersikap ga adil kaya gini karena pengaruh siapa? Mami kalian? Tsk, sudah kuduga"
Dan Jaemin hampir saja melayangkan tinju nya kalau saja tidak terdengar suara Jisoo dari balik pintu. Gigi nya gemelutuk menahan emosi yang semakin membara begitu perempuan yang menjadi duri dalam hidupnya mengulas senyuman terbaiknya.
"Kalian ngobrolin apa sih? Sampe ga inget sarapan"
Song Mino yang masih menatap Jaemin mengerjap lalu mengulas seringai halusnya kearah Jisoo.
"Nanti aku sama Nana turun Soo" Sahutnya pelan dan sediplomatis mungkin. Jaemin mendecih ditempatnya melihat perubahan yang begitu jelas terjadi diwajah perempuan itu.
"Owh oke ... Pembicaraan antar laki-laki rupanya, Na, bibi tunggu dibawah ya. Mino, jangan marahi Nana.. Awas saja" Ancamnya dengan senyuman hangat yang kemudian terulas. Mino hanya mengulas senyum simpulnya pada perempuan itu sampai kepala Jisoo menghilang dari kamar Jaemin.
Sepeninggal Jisoo keduanya kembali saling bertatapan tanpa suara sampai kemudian Mino menepuk kedua pahanya.
"Papi tahu kamu belum bisa menerima semua ini Na, tapi sampai kapan kamu akan bersikap kaya gini? Oh come on Song Jaemin, kita harus terus hidup dan bangkit. Sudah saatnya kamu lupain masalah yang sudah berlalu dan mencoba terima keadaan ini dengan kepala dingin" Sahut Mino akhirnya, ia bahkan tidak tahu lagi harus memakai bahasa seperti apa untuk membuat putranya ini mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
OHANA [ FIN ]
FantasyKeluarga bagaikan cabang-cabang disetiap pohon, kita tumbuh ke arah yang berbeda-beda namun akar kita tetap satu -OHANA- a Minrene and Nomin story ©ziewaldorf