Begitu Mbak Nova dipindah ke unit kerja yang lain, aku resmi menjadi petugas di loket payment point polres. Beberapa hari di awal aku emang masih kagok ketika bekerja tapi seiring berjalannya waktu aku menjadi terbiasa. Yang tadinya aku harus berkali-kali melihat catatanku agar tak ada hal yang kulewatkan dari pekerjaanku, kini aku sudah mahir tanpa bantuan catatan lagi. Bahkan kadang aku bekerja diselingi bermain Solitaire atau Zuma maupun nonton film di komputer tanpa kehilangan konsentrasi.
Ini sih judulnya gabut dong, batinku. Lah, kerja bisa disambi mainan tapi gaji sama dengan yang kerja beneran. Tapi ga papalah. Asyik kok. Ini ga dihitung dosa, 'kan, ya?
"Hai Mir," sapa Irawan, si playboy cap hiu kapak. Akhir-akhir ini manusia itu sering banget dateng ke loketku. Mukanya memang boleh polos dan alim tapi kelakuan parah. Pantes Mbak Nova pernah mewanti-wantiku agar tidak terkena bujuk rayunya.
"Mbak. Mbak Mir. Inget, aku lebih tua daripada kamu," ralatku.
"Aih, itu artinya aku menganggap perbedaan usia kita ga ada artinya. Makanya aku manggil kamu pake nama aja ga perlu pake embel-embel 'mbak' segala. Lagian panggilan mbak itu ga cocok buat kamu-"
"Cocoknya apa?"
"Sayang."
Aku langsung terbatuk kencang. Astaga, ternyata manusia ini membahayakan karena sering membuat gombalan receh. Cilok yang sedang kumakan hampir saja kutelan bulat-bulat gara-gara gombalannya itu. Iya, kerja di sini juga bisa disambi ngemil. Surga banget pokoknya kerja di payment point, dengan catatan asal tanpa Irawan Si Lelaki Kardus.
"Mas Ir, aku manggil kamu juga pake embel-embel 'mas' loh. Buat ngehormatin kamu. Kok kamu malah manggil aku nama doang? Ga sopan!"
"Eh, ga papa kalo itu sih. Kan kalo kamu jadi istriku biar udah terlatih manggil mas."
Astagfirullah. Aku mengelus dada. Muntahin orang lain boleh ga, ya Allah? Ga dosa, 'kan, ya kalau manusianya rese begini.
"Kamu suka nonton film ya, Mir?" tanyanya karena melihatku asyik menonton film. Aku menikmati cilok sementara mataku tak lepas dari layar monitor komputer.
"Hmm." Aku hanya menggumam. Berharap dia akan sadar aku muak dengan gombalannya lalu pergi. Aku sedang tak ingin diganggu.
"Ada film bagus loh di bioskop. Kamu mau nonton sama aku ga?" tawarnya.
"Film apa?"
"Kamu sukanya apa? Kamu yang pilih deh filmnya. Aku ikut aja."
"Film barat ada? Yang horror atau thriller gitu?"
"Hmm, ada kayaknya. Inside- inside apa ya?"
"Insidious?"
"Nah, itu dia. Kamu suka?"
"Aku suka asal bukan film Indonesia."
"Ih, ga nasionalis kamu!" tuduhnya.
Aku memutar bola mata. "Sejak kapan nasionalisme seseorang dilihat dari hobinya nonton film?"
"Lah, kalo kamu nasionalis harusnya kamu bantu sineas Indonesia dengan nonton filmnya dong."
"Alah, kalo kamu disuruh maju ke medan perang juga kamu ngibrit duluan, Mas Ir, bukannya maju paling depan meski kamu polisi," cibirku.
"Eh, enak aja. Aku setia dong sama negara."
"Kalo sama pacar setia ga?"
"Kalo pacarnya kamu aku pasti setia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
General FictionApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...