17 • Uangku Sayang, Uangku Malang, Uangku Melayang 💸

1K 131 0
                                    

Nombok. Satu kata yang jadi momok para teller. Ada rasa ga ikhlas tiap kali kena sial harus nombok. Tapi karena ini jadi bagian dari tugas, mau ga mau para teller harus siap dengan risiko ini. Termasuk aku.

Hari itu adalah hari Rabu di pertengahan bulan. Hari di mana banking hall ramai nasabah; dari nasabah walk in customer alias nasabah yang cuma numpang lewat, nasabah tetap, nasabah setor pinjaman, dan nasabah yang mau pencairan kredit. Entah kenapa pertengahan bulan selalu jadi favorit para marketing officer untuk mencairkan pinjaman. Ada 12 transaksi pencairan kredit hari itu. Belum lagi melayani nasabah-nasabah lainnya. Bayangkan betapa repotnya aku.

Hingga tiba di akhir hari saat jam tutup kas. Aku yakin sekali tidak ada kesalahan saat melakukan transaksi. Tapi tak disangka tak dinyana ternyata Bu Listiana membawa kabar buruk ketika hendak mencocokkan kas teller dan catatan kas di menu kaunit.

"Dek, kok selisih sejuta?"

Jantungku rasanya langsung melorot ke kaki. "Apa, Bu? Sejuta?"

"Iya. Dek Mira udah yakin itungannya bener? Barangkali masih ada duit yang nyelip di laci kayak tempo hari."

Ya, beberapa saat yang lalu aku memang pernah nyaris nombok lima ratus ribu. Ternyata ada 5 lembar uang seratus ribu yang terselip di laci meja teller dan terlewatkan dari hitungan.

"Hng, tunggu sebentar, Bu."

Aku berdoa dalam hati semoga memang begitu kenyataannya. Semoga memang ada 10 lembar uang seratus ribu yang terselip lagi kali ini. Meski aku tidak yakin, karena sebelumnya sudah kucek semua laci meja tempat aku biasa menyimpan uang, tapi aku tetap kembali ke meja teller untuk mengecek lacinya. Kosong. Hampa. Bersih. Aku ingin menangis. Jangan lagi, ya Allah. Please. Pas di kantor kas nombok tiga ratus ribu aja rasanya pengen nangis. Ini masa sejuta?

"Gimana?" tanya Bu Listiana yang menyusulku ke meja teller.

"Nggak ada, Bu." Serius, aku hampir menangis.

"Coba Dek Mira inget-inget tadi ada transaksi yang time out ga? Barangkali jadi suspend atau malah kebuku dua kali. Sekalian saya print transaksi hari ini buat dicek sama vouchernya."

Aku mencoba mengingat-ingat. Koneksi SanTets- eh SanNets emang bapuk banget terutama kalo pas lagi pencairan kredit. Satu transaksi kadang butuh waktu lebih dari lima belas menit untuk sukses. Udah kayak nungguin jodoh. Lama bener. Kadang sambil menunggu transaksi sukses, aku curi-curi membalas BBM dari teman-teman kuliahku di grup sampai-sampai mereka curiga aku ga beneran kerja di bank. Mereka pikir kerja di bank itu selalu sibuk. Bu Listiana tak pernah menegurku meski beliau tahu aku sering bermain ponsel di sela-sela jam kerja karena bisa terlihat dari CCTV di ruang teller. Toh, selama ini pelayananku terhitung cepat dan tak pernah nombok. Ah, nombok. Aku jadi teringat kenyataan pahit yang harus kuhadapi hari ini.

"Ada?" tanya Bu Listiana lagi.

"Kalo transaksi time out banyak sih, Bu, tadi. Tapi kayaknya ga ada yang kebuku dua kali deh soalnya selalu saya cek transation successnya."

Bu Listiana mendesah kecewa. "Saya juga udah cek voucher sama print outnya. Cocok semua. Berarti kemungkinannya ada uang yang terikut ke nasabah. Mungkin asuransinya siapa gitu yang pas sejuta udah kamu buku tapi kamu belum potong pas ngasih uangnya. Atau mungkin ada penarikan lain terus kamu ngasihnya kelebihan."

Aku tak bisa berpikir. Tiba-tiba otakku kosong. Bayangkan saja, aku sudah sampai di kantor pukul 07.30 padahal jam buka pelayanan jam 08.00. Sibuk pelayanan hingga nyaris tak makan siang. Harusnya sudah bisa pulang pukul 16.00 atau selambat-lambatnya pukul 17.00 tapi sampai pukul 20.00 aku masih di kantor. Tenagaku sudah terforsir habis. Bayangkan, aku sudah kerja 12,5 jam padahal harusnya cuma 8 jam! Kini masalah masih menungguku. Nombok. Ya, gimana ga nombok kalo kerjanya kayak ikut romusha begini? Tenaga diperas, otak dikuras.

Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang