Aku kedatangan masing-masing seorang nasabah pria selama tiga hari berturut-turut yang ketiganya hendak membuka rekening simpanan di sana. Aku sampai heran. Tumben sekali ada banyak orang yang membuka rekening di unit S yang notabene sepi ini. Selama ada di unit S, aku biasanya hanya menerima nasabah yang membuka rekening simpanan paling banter seminggu sekali. Itu tidak termasuk dengan pembukaan rekening simpanan bagi nasabah kredit karena rekening simpanan bagi nasabah kredit hanya bersifar formalitas saja. Dibandingkan dengan unit T yang hampir tiap hari kedatangan nasabah yang membuka rekening simpanan, unit S terhitung tak banyak peminat. Tapi karena semua nasabah itu terlihat normal, aku tidak mencurigai apapun.
"Pekerjaan-" aku mendongak ke arah si nasabah, seorang mas-mas berusia 30an awal, sambil mengecek isian form aplikasi yang baru selesai ditulisnya. "-supir?"
Si mas-mas mengangguk. "Iya, Mbak."
"Supir apa?" selidikku.
"Truk."
"Nama perusahaannya apa ya, Pak, kalo boleh tau?" aku bertanya karena informasi itu tidak dituliskan di form aplikasi.
"Ga ada, Mbak." Si mas-mas menjawab bingung. Aku lebih bingung lagi.
"Bapak kan kerja jadi supir sama orang. Nah, orangnya itu pasti punya perusahaan kan? Nah, nama perusahaannya apa?"
"Ga ada, Mbak." Si mas-mas bersikukuh menjawab dengan jawaban yang sama.
Aku menggaruk kepala. "Masa ga ada sih, Pak?"
"Ga ada, Mbak. Saya itu cuma ikut orang aja. Serabutan lah pokoknya. Ga tetap. Kalo ada panggilan ngirim ya saya berangkat nyupir, kalo ga ada ya saya nganggur."
Well, oke. Bukan penjelasan ini yang gue maksud. Gue nanya apa dia jawab apa. Ugh!! Aku mulai kesal.
"Tapi masa orang yang diikutin bapak- Eh, maksudnya orang yang ngajak bapak kerja itu kan punya usaha. Masa usahanya ga ada namanya? PT apa gitu atau CV apa gitu atau UD apa gitu?" aku ngeyel. Demi kolom identitas yang terisi lengkap aku harus berjuang melakukan sesi wawancara ini meski membuat gemas.
"Ngg," si mas-mas terlihat berpikir mengingat sesuatu. "Mungkin ada sih, Mbak, tapi saya ga inget. Saya kan cuma supir. Mana mikir gitu-gitu?"
Aku membuang napas lelah. Baiklah. Mungkin aku harus mengisinya dengan nama apa saja terserah.
"Oke. Penghasilan per bulan-" aku mendongak lagi ke arahnya. "-sampai dengan lima juta rupiah ya?"
"Ngg, ga sampe segitu sih, Mbak, sebenernya. Palingan cuma sejuta dua juta per bulan- Eh, ga tiap bulan juga sih. Gimana ya?" si mas-mas ikut bingung.
"Iya, ga papa. Kan sampai dengan 5 juta rupiah. Jadi sejuta dua juta masih dalam cakupan ini."
"I-iya," si mas-mas akhirnya mengangguk nurut.
Aku pun akhirnya menyelesaikan pembuatan rekening itu tanpa mencurigai satupun hal yang ada pada dirinya. Toh, KTP-nya asli. Tanda tangan yang ada pada KTP dan pada form aplikasi juga sama. Soal nama perusahaan- Ya, mungkin aku yang terlalu perfeksionis menginginkan semua kolom terisi dengan jelas padahal tidak semua orang bekerja di tempat yang jelas sepertiku kan? Apalagi si mas-mas ini bilang dia berangkat menyupir kalau ada yang mengajak saja. Jadi kuasumsikan dia bekerja pada banyak orang. Tak mungkin dia mengisi banyak nama untuk satu kolom nama perusahaan kan? Kupikir hal-hal seperti ini remeh jadi tak perlulah kuperpanjang masalah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
Ficção GeralApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...