"Lah, Mas Surip kok masih di sini?" Aku kaget melihat PM alias penjaga malam di kantorku belum pergi dari kantor. Aku melirik jam dinding di banking hall. Sudah pukul 07.30. Tumben. Setahuku Mas Surip, PM kantor, selalu sudah pergi lewat dari jam 07.00 karena satpam sudah mulai bertugas. Aku yang biasanya baru sampai kantor lewat dari jam 07.00 jarang sekali bertemu dengan Mas Surip. Hanya sesekali kami bertemu di pagi hari itupun biasanya karena Mas Surip dititipi pesan untuk menghadap Bu Listiana sebelumnya lewat satpam. Seringnya kami bertemu saat hari menjelang malam pukul 19.00 saat jam kerja satpam berakhir dan digantikan PM.
"Iya, Mbak Mira, saya kesiangan." Katanya malu-malu.
"Tumben, Mas? Abis nonton bola?" Tanyaku iseng.
Di kantor memang ada televisi 21 inch yang selama jam pelayanan hanya dipakai untuk menayangkan iklan-iklan berisi produk-produk dari Bank Nusantara. Padahal televisi tersebut sebenarnya dilengkapi dengan antena parabola yang bisa menayangkan channel televisi biasa. Tapi menayangkan acara televisi selama jam pelayanan menyalahi aturan Bank Nusantara karena dianggap mengganggu konsentrasi pegawai ketika bekerja dan tidak memanfaatkan waktu untuk promosi produk-produk perbankan milik Bank Nusantara. Padahal menurutku sih akan lebih baik menayangkan acara televisi daripada produk-produk perbankan karena itu akan mengalihkan perhatian nasabah dari kebosanan menunggu antrean. Beberapa unit kerja masih ada yang nakal menayangkan acara televisi selama jam pelayanan asal jangan lupa berdoa agar tidak ada perwakilan kanwil yang tiba-tiba datang untuk sidak.
"Ah, nggak, Mbak. Saya nggak suka bola malah. Lagian semalem saya justru nggak bisa tidur. Saya baru bisa tidur lewat subuh. Makanya kesiangan. Untung aja udah beberes tadi."
Penjaga malam memang tidak bertugas merangkap sebagai tukang bersih-bersih tapi biasanya dengan sendirinya PM akan bebersih kantor karena jam kerja cleaning service baru dimulai pukul 07.00.
Aku mengernyitkan dahi. "Emang Mas Surip kenapa nggak bisa tidur? Banyak nyamuk?"
Mas Surip tertawa. "Kalo nyamuk doang sih bukan masalah, Mbak. Di rumah saya malah nyamuknya lebih banyak lagi. Lebih ganas lagi."
"Lah, terus apa dong?"
"Dih, Mbak Mira kepo bener sih?" Detta yang sudah datang tiba-tiba nimbrung pembicaraanku dengan Mas Surip.
"Emang ada apaan sih ini? Kayaknya seru bener ngobrolnya?" Detta malah ikut kepo.
"Tumben nih Mas Surip masih di sini. Makanya aku penasaran, Det. Kan jarang-jarang ketemu Mas Surip," kataku yang membuat Mas Surip tersipu.
"Ah, Mbak Mira ini. Kayak ngarep ketemu artis aja. Wong Mbak Mira sering liat saya kalo pas malem. Kan sering pulang malem."
"Iya sih, Mas. Tapi rasanya beda. Kalo ketemu pas malem itu saya udah pusing karena kerjaan. Kalo ketemu pagi gini kan masih fresh otak saya. Takutnya Mas Surip mikir saya ini jahat karena tiap ketemu saya pasti dijutekin."
Mas Surip tertawa. "Ah, ya nggak lah, Mbak. Saya tau kok Mbak Mira pasti kecapekan. Makanya saya nggak suka ganggu kalo beberes pas malem-malem."
"Takut diamuk ya, Mas?" Sela Detta.
Mas Surip nyengir.
"Eh, Mas, saya mau nanya nih. Mumpung kemaren hari Kamis ya. Kan malem Jumat tuh. Kalo di sini suka ada kejadian horor gitu nggak sih?" Tanyaku tiba-tiba. Aku benar-benar iseng menanyakan ini. Entah kenapa tiba-tiba terlintas pertanyaan ini di kepalaku.
"Dih, apaan sih, Mbak? Kenapa jadi bahas horor-horor begitu? Ini Jumat loh. Kita pasti bakal pulang malem." Detta sudah antipati dengan topik pembicaraan yang kulontarkan.
"Iseng aja," aku nyengir. "Soalnya aku suka kepikiran kalo pas makan sama nyuci kotak makan di belakang itu apa Mas Surip nggak takut tiap liat ke belakang? Gudang supply barang di belakang sana kan nggak ada lampunya. Gelap banget. Mana isinya cuma tumpukan barang doang gitu."
Mas Surip tercekat. Aku tahu dia menyimpan sesuatu. Omong-omong gudang supply barang yang kumaksud itu tidak berbentuk ruangan. Gudang itu cuma sepetak tempat kosong di bagian belakang kantor, dekat dengan tempat mencuci piring dan gudang berkas serta brankas. Gudang supply barang itu sebenarnya hanya rak besi tinggi yang digunakan untuk menyimpan slip-slip dan kuitansi-kuitansi serta form aplikasi. Baunya apak karena jarang dibersihkan sebab tempatnya gelap dan penuh dengan serakan barang bekas pakai seperti kaleng bekas parfum AC yang tidak dibuang.
Mas Surip mendesah. Wajahnya berubah serius. "Justru itu yang bikin saya nggak bisa tidur semalem, Mbak."
"Hah? Gimana gimana?" meski takut, Detta mulai tertarik. Dia sampai meninggalkan berkas-berkas yang harus disiapkan hari ini di meja begitu saja dan mendekat ke meja teller.
"Jadi ceritanya-" Mas Surip mengambil napas sebentar sebelum melanjutkan, "semalem saya dateng kayak biasa. Sampe jam 22.00 saya belum bisa tidur. Padahal biasanya jam 21.00 saya udah pules. Padahal saya tuh ngerasa capek dan ngantuk tapi mata nggak mau merem juga. Akhirnya saya nyetel radio dari hape. Lumayan tuh saya mulai ngantuk."
Aku dan Detta penasaran dengan kelanjutan cerita Mas Surip sehingga kami sama sekali tak menyela ceritanya. Lagipula jam pelayanan hampir tiba. Ini harus cepat. Kami tak mau digantung penasaran sampai nanti malam.
"Terus tau-tau pas sekitaran jam 2 pagi, waktu itu saya sempet liat hape sih, saya denger ada suara kaki dalem sini. Tapi pas saya tengok kanan kiri nggak ada siapa-siapa. Saya malah sempet megang pentungan yang biasa saya bawa selama jaga malem. Saya mikirnya jangan-jangan ada yang berhasil nyusup."
"Terus?" Aku dan Detta kompak bertanya.
"Saya beraniin keliling kantor lah, Mbak. Saya senterin tempat-tempat yang sekiranya bisa buat sembunyi. Nggak ada apa-apa, Mbak. Sepi. Terus saya iseng ke ruang kaunit. Kan nggak dikunci tuh. Di situ ada CCTV kan. Saya liat CCTV kok ada yang gerak-gerak di ruang teller. Tapi nggak warna merah. Biasanya kan kalo itu orang pasti pencitraannya merah kan. Itu kayak angin tapi jelas gerak-gerak gitu."
"Kok saya merinding sih, Mas?" Aku memeluk diriku sendiri dengan kedua lenganku. "Mana kejadiannya di ruang teller lagi kan," aku melihat sekeliling ruang teller.
"Terus, Mas?" Detta malah berusaha abai dengan ketakutanku.
"Terus bayangan itu pindah ke ruang belakang. Nggak lama pindah lagi ke banking hall. Terus pindah lagi ke gudang berkas. Padahal kan dikunci ya. Aneh kan. Udah jelas itu bukan manusia. Akhirnya saya mulai ketakutan. Saya buru-buru tidur lagi. Suara kaki itu kedengeran lagi. Pas saya selimutan pake sarung, suaranya makin deket. Pas banget di sebelah kuping saya."
"Hiiiiyyy..." aku dan Detta sama-sama bergidik ngeri.
"Saya nggak berani buka sarung sampe saya denger suara azan subuh, Mbak. Serem sumpah. Saya aja masih merinding sampe sekarang."
"Terus suara kakinya hilang pas azan subuh?" Tanyaku.
"Alhamdulillah hilang, Mbak. Saya buru-buru solat terus malah sempet ketiduran di musala. Makanya jam segini masih di sini aja."
"Dek Mira, Dek Detta," panggil Bu Listiana yang membuat kami kaget. "Lho, njenengan masih di sini, Mas Surip?" Bu Listiana kaget melihat keberadaan Mas Surip di ruang teller.
"Abis ditanggap, Bu, sama kita buat nyeritain kejadian horor semalem," aku menimpali.
"Lho, emang ada apa?" Bu Listiana tampak tertarik.
"Anu, Bu, saya denger suara kaki gitu. Serem lah pokoknya makanya tadi kesiangan." Mas Surip menjawab malu-malu.
"Oalah. Ya sudah semoga nggak ada lagu yang kayak gitu ya, Mas. Sudah ayo buka pelayanan." Bu Listiana bergantian berbicara pada Mas Surip kemudian kepadaku.
Aku menepuk dahi. "Oh iya, kasbon."
Untungnya Bu Listiana tidak memarahiku dan malah geleng-geleng kepala melihat kealpaanku.
"Dek Mira, Dek Mira."
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
Aktuelle LiteraturApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...