Namanya Putra. Dia juga polisi. Bekerja di satuan yang sama dengan Irawan. Usianya setahun lebih tua daripada aku. Kupikir dia baik-baik saja, tentunya dalam artian soal hubungannya dengan perempuan. Maksudnya- yah, pokoknya begitulah. Aku susah menjelaskannya. Tapi ternyata Irawan bukanlah contoh satu-satunya polisi yang kukenal yang agak "tidak beres". Meski Putra memang tidak semodus Irawan tapi hal ini, terus terang, membentuk stigma negatif dalam diriku tentang polisi. Meski aku yakin masih banyak polisi yang baik di luar sana, tapi entah kenapa aku jadi sedikit menghindari punya hubungan dengan laki-laki berprofesi polisi. Cerita ini sebetulnya baru kuketahui belakangan tapi kuceritakan sekarang karena kupikir masih ada benang merahnya dengan Irawan.
"Mir," panggil Putra saat dia memasuki loket payment point. "Lagi apa?" tanyanya seraya duduk di sebelahku.
"Ga lagi apa-apa kok, Mas. Kenapa?"
"Kira-kira di Bank Nusantara ada lowongan lagi ga ya buat frontliner gitu? Yang kerja kayak kamu gitu loh, Mir."
"Oh, kalo itu aku ga tau, Mas Put. Soalnya sekarang, 'kan, sistemnya outsourcing tuh jadi yang buka lowongan ya perusahaan outsourcing-nya bukan banknya," kataku.
"Kamu dulu daftar lewat perusahaan outsourcing apa?"
"PT. Cahaya Gemilang. Kantornya di Semarang. Emang kenapa? Kamu mau pindah jadi pegawai bank? Kan enakan jadi polisi udah jadi PNS," gurauku.
"Bukan. Anu, itu ada adek sepupuku yang lagi nyari kerjaan. Dia jurusan Pendidikan Bahasa Inggris tapi sekarang masih ngajar di kursusan kayak kamu dulu. Aku pikir lebih baik kerja di bank aja deh daripada di kursusan yang gajinya ga seberapa."
Aku tersenyum. "Yah, kalo dia lebih suka ngajar ya ga papa dong. Kan ga semua orang punya passion yang sama. Kadang ada beberapa orang yang puas dengan bekerja yang ngasih manfaat buat banyak orang daripada kerja dengan gaji besar."
Putra menggaruk kepalanya karena salah tingkah. "I-iya sih. Yauda deh. Makasih ya, Mir."
"Oke."
Putra yang sudah keluar dari loket tiba-tiba masuk lagi ke dalam dengan raut wajah ragu. "Mir, kalo aku kasih nomer kamu ke adek sepupuku ga papa, 'kan? Barangkali dia mau tanya-tanya gitu soal ini?"
Aku sempat kaget saat dia kembali karena aku sedang asyik mengupil dan hampir tertangkap basah akan menempelkannya di bawah meja. Kebiasaan. Lalu aku buru-buru mengambil tisu untuk membungkus upilku.
"Eh, iya apa, Mas Put?"
"Kamu ..." Wajahnya memberi ekspresi jijik, "ngupil?"
Aku nyengir. Dia lalu berusaha mengabaikan kenyataan itu. Ya, masa sih manusia hidup ga boleh ngupil?
"Anu, kalo misalnya aku kasih nomer kamu ke adek sepupuku ini ga papa, 'kan? Mungkin aja dia mau tanya-tanya soal—"
"Oh, boleh boleh boleh." Aku langsung mengiyakan. "Ganteng, 'kan?"
"Siapa?" Putra bertanya bingung.
"Adek sepupumu lah, Mas Put."
"Oh. Dia cewek."
Bahuku langsung melorot. Aku merasa kecewa sementara Putra menahan tawa. "Yah, kok cewek sih?"
"Usaha teroooosss." Mas Put meledek.
"Namanya juga jomblo, Mas Put, jadi wajar dong usaha. Katanya jodoh itu ga cuma ditunggu tapi juga dikejar."
Putra mendengus. "Tapi ya ga agresif gitu juga kali, Mir. Pada takut yang ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
General FictionApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...