Benar. Prediksi Bu Listiana soal mutasiku tidak meleset sama sekali. SK mutasi benar-benar turun beberapa minggu setelah kejadian namaku mahsyur di layanan konsumen berkat nasabah rese itu. Ingin sekali kuacungkan jari tengah pada mas-mas yang nggak ganteng tapi sok asyik itu kalau bertemu. Tapi aku ingat kata-kata Mbak Sofi dulu: Cepat atau lambat, masuk kolom surat pembaca atau nggak, kita semua bakal tetep kena mutasi kok. Sudah pernah kubilang kan kalau pegawai itu punya garis takdir bernama SK mutasi? Apes. Aku dimutasi ke unit yang lebih jauh dari rumahku, lebih sepi, lebih bikin nggak nyaman, lebih- Ah, pokoknya miris deh.
Sofiana Arnia: Kamu dipindah beneran, Non? Kemana?
BBM dari Mbak Sofi itu kuterima satu hari sebelum aku mulai bekerja di unit baru.
Aku: Di unit S, Mbak. Lagi galau ini besok berangkatnya gimana karena belum tau tempatnya.
Sofiana Arnia: Oh, unit S. Jalan lurus aja terus ke arah timur. Kiri jalan.
Aku: Perlu ngekos ga ya?
Sofiana Arnia: Ga usah. Masih keitung deket kok. Palingan 45 menitan naik motor dari rumahmu.
Aku: Oh, ok kalo gitu. Makasih, Mbak.
Sofiana Arnia: Aku juga jadi takut dimutasi nih. Mana lagi hamil tua.
Aku: Mutasi pas hamil tua sih mending resign aja hahaha ☻
Setelahnya kami tidak berbalas BBM lagi. Aku jadi deg-degan membayangkan bagaimana kiranya unit baruku besok. Aku deg-degan karena selain aku belum tahu dimana letak persisnya kantor unit kerjaku yang baru, aku juga agak cemas karena SK tugasku yang baru aku harus menjadi CS. Posisi yang menurutku ribet dan tidak kumengerti sama sekali. Dulu aku tidak pernah belajar tentang per-CS-an dengan Rifat maupun Detta karena aku takabur tidak akan dijadikan CS. Kupikir pertukaran jabatan itu hanya isapan jempol belaka makanya aku jumawa tidak akan jadi CS. Kini aku menyesal tidak pernah tahu apapun soal dunia per-CS-an.
Aku berangkat lebih pagi keesokan harinya. Siapa tahu aku butuh waktu lebih lama dari perkiraan 45 menit ala Mbak Sofi.
"Kok pagian berangkatnya?" tanya ibu sambil menyiapkan bekal untukku seperti biasa.
"Iya, Bu. Aku dipindah ke unit lain," jawabku.
Ibu kaget. "Kemana? Lebih jauh?"
Aku mengangguk. Tapi berusaha menepis kekhawatiran ibu. "Ah, ga papa. Namanya pegawai ya emang kudu pasrah sama yang namanya mutasi. Udah biasa itu."
Ibu tersenyum. "Syukurlah kalo ga papa. Ini bekalnya, Mir. Yang penting jangan sampe telat makan ya."
"Insya Allah, Bu." Aku mencium tangan ibu lalu berpamitan. "Aku berangkat dulu ya, Bu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Sepanjang jalan aku tak henti memperhatikan neon box yang dipasang di depan tiap kantor unit Bank Nusantara yang tersebar hampir di tiap kecamatan. Aku melihat nama unit yang tercetak di bagian bawah neon box. Aku mencari-cari unit S. Dan aku terkejut bukan main karena ternyata jarak yang kutempuh untuk ke unit kerja baruku cukup jauh, hampir menyentuh kabupaten lain. Yang lebih mengejutkan lagi unit kerja baruku itu terletak persis di bagian tanjakan jalan sehingga bangunannya cukup tinggi dan curam.
Anjir, kalo ga bawa makan, gue makannya gimana? Warung cuma ada satu. Kalo pengen ngemil ga bakal ada orang jualan makanan sampe ke tanjakan gini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
Ficción GeneralApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...