"Dek Mira," panggil Bu Listiana saat aku sedang asyik menyelesaikan transaksi 'jalur belakang'. Aku menyebutnya demikian karena ada saja nasabah-nasabah antimainstream yang enggan mengantre untuk membayar setoran pinjaman di teller. Mereka lebih memilih menitipkannya pada Mbak Ziya, Mas Satya, atau Mas Eko yang memang bertanggung jawab sebagai marketing kredit. Untung saja antrean sedang agak sepi jadi aku bisa curi-curi membuku setoran pinjaman 'jalur belakang' ini karena kalau tidak bisa-bisa kacau. Uang yang cuma diselip-selipkan di slip penyetoran dan ditumpuk begitu saja di meja teller bisa jatuh atau hilang entah kemana atau bisa juga tercampur dengan uang yang sudah kumasukkan ke kas.
"Iya, Bu," aku menyahut.
"Uangnya disetorkan dulu aja. Sudah ada 100 juta di kas teller loh." Bu Listiana tak henti-hentinya mengingatkan seperti itu kala uang di kas tellerku sudah overload. Kadang hal ini yang membuatku agak repot. Seringnya aku sengaja tak menyetorkan uang kas itu karena takut akan ada transaksi penarikan yang cukup banyak setelah ini. Sejak kepala unit diganti oleh Bu Listiana, aku jadi tak punya akses password kaunit sehingga setiap kali aku membutuhkan supervisor override aku jadi merasa kerepotan karena harus menunggu. Dulu, saat kaunit masih dijabat oleh Pak Norman, beliau memberiku akses password miliknya sehingga aku bisa membuka menu kaunit dan melakukan supervisor override tanpa harus menunggu approve dari Pak Norman. Sebetulnya, seperti yang pernah dikatakan Rifat, hal itu dilarang keras oleh perusahaan karena setiap pegawai memiliki user dan password sendiri-sendiri memang untuk menjaga kerahasiaan masing-masing agar tidak ada yang menyalahgunakan.
"Tapi kalo setelah ini ada penarikan gimana, Bu?"
"Ya kasbon teller lagi. Gampang kan? Seenggaknya uangnya sudah aman masuk ke kas besar. Maksimal kas teller kan cuma 25 juta, Dek. Kalo lebih dari itu terus ada apa-apa nanti kamu yang rugi."
Aku mendesah. Masalahnya itu dia. Aku males ribet bolak balik ngebon kas teller. Bikin nota kasbon lagi. Nunggu approve lagi. Alamak. Ngabisin waktu.
Namun, aku patuh. Aku tetap membuat nota setoran kas yang ditandatangan dan diapprove oleh Bu Listiana di menu teller SanNets, koneksi khusus yang dipakai oleh Bank Nusantara yang biasanya kuplesetkan jadi SanTets.
Setelah masalah setoran kas selesai, tiba-tiba ada nasabah datang langsung ke meja teller karena memang tak ada nasabah lain yang mengantre.
"Selamat siang, Pak Bayu," kebetulan aku sudah mengenal nasabah bernama Bayu Arianaga ini. Beliau adalah pemilik beberapa bisnis terkenal di kota- sebut saja bakery, restoran, toko perlengkapan bayi, toko pakaian- dan sering melakukan transaksi di unitku. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Mbak Samira, saya mau penarikan 100 juta ada? Saya mau konfirmasi dulu tapi keburu-buru tadi. Akhirnya malah lupa. Jadinya mampir aja dulu sekalian. Kalo ada ya saya penarikan di sini, kalo ga ada ya saya ke cabang aja." Pak Bayu juga sudah mengenalku sehingga kami seringnya tidak menggunakan basa-basi standar ala Bank Nusantara.
"Oh, ada kok, Pak. Sudah isi slip penarikannya?"
"Belum. Saya isi dulu bentar ya, Mbak."
"Baik. Sekalian saya siapkan uangnya dulu."
Sementara Pak Bayu menulis slip penarikan, aku membuat kasbon teller lagi. Tuh kan, firasatku benar. Baru saja setor kas udah kasbon lagi. Capek deh.
"Ada yang penarikan, Dek?" tanya Bu Listiana saat aku meminta approve kasbon.
Aku mengangguk. "Pak Bayu, Bu."
"Oh," lalu Bu Listiana beranjak dari kursinya dan menuju meja teller kemudian mengobrol dengan Pak Bayu sementara aku menyelesaikan transaksi. Setelah aku menyerahkan uang pada Pak Bayu, beliau masuk ke ruangan Bu Listiana entah untuk urusan apa. Biasanya Bu Listiana menggencarkan negosiasinya pada nasabah-nasabah potensial seperti Pak Bayu ini untuk mengambil kredit atau membuka rekening baru di unit kami. Hal ini salah satunya membantu performa unit sehingga bisa meraih SIPK.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
Ficción GeneralApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...