31 • Kacung + Jomblo = Ngenes

739 89 2
                                    

Hal yang paling menyebalkan saat usiaku lewat seperempat abad adalah saat aku merasa baik-baik saja dengan kesendirianku tapi ibuku merasa itu adalah sebuah bencana. Sejak aku pindah ke unit baru, aku jadi tidak punya teman. Well, sebenarnya aku memang tidak benar-benar punya teman sih sejak bekerja. Maksudku teman yang bisa kuajak curhat dan jalan-jalan. Dulu saat masih di unit T, aku memang sesekali jalan-jalan dengan Detta dan Aya sepulang kerja kalau kami beruntung bisa pulang lebih cepat. Kadang di akhir pekan aku juga masih bisa facial dengan Aya karena Detta tidak terlalu suka perawatan. Lagipula wajah manis ala Fatin Shidqia-nya sudah cukup menarik. Kalau Aya sih karena dia memang sering mengeluh bingung mau menghamburkan uangnya bagaimana. Pasalnya selain dapat gaji, dia masih dapat jatah bulanan dari sang ibu yang bekerja di luar negeri. Dia memang sombong kadang-kadang.

Praktis, sejak kepindahanku ke unit S, aku jarang sekali pergi jalan-jalan karena tak punya teman untuk diajak hangout. Detta hampir selalu tidak available karena dia sedang mempersiapkan pernikahan dengan Pras. Yep, aku juga sempat terkejut dengan berita ini. Aku tak menyangka ternyata mereka berjodoh juga. Rifat sukses menjadi mak comblang sementara hubungannya sendiri masih jalan di tempat padahal sudah bertahun-tahun pacaran dengan perempuan yang entah-siapa-nama-dan-gimana-wajahnya. Sementara Aya lebih sering hangout dengan teman-teman gank-nya sejak kami berada di unit yang berbeda. Hanya sesekali kami bertemu di akhir pekan untuk facial dan makan siang. Selebihnya aku lebih sering pergi sendiri kemanapun; nonton bioskop, makan, belanja, ke toko buku, bahkan kondangan ke pernikahan teman.

"Mir, kamu kok di rumah aja? Emang ga ada rencana mau pergi kemana gitu?" tanya ibu saat melihatku masih selonjoran di kasur di akhir pekan sambil membaca ulang koleksi komik Detektif Conan-ku.

"Kenapa?" aku menoleh ke arah pintu dimana ibu melongokkan kepalanya. "Ibu mau nitip sesuatu?"

"Nggak sih. Tapi ini kan hari libur. Kamu ga pengen jalan-jalan gitu?"

Aku mengerucutkan bibir sambil berpikir. "Nggak ah. Ga ada yang mau dibeli kok. Jadi mendingan di rumah aja."

Ibu akhirnya masuk ke kamarku dan duduk di samping ranjang. "Kamu ga kesepian di rumah terus? Maksudnya, kamu kan tiap hari kerja sampe malem. Kalo weekend mbok ya dimanfaatkan buat jalan-jalan siapa tau nemu jodoh."

Aku tertawa mendengar omongan ibu yang menurutku lucu. "Bu, emangnya nyari jodoh itu kayak beli es krim atau beli baju di mall? Udah jelas tempatnya terus tinggal pilih mana yang kita suka terus beli? Jodoh kan ga gitu, Bu."

"Seenggaknya, Mir, kalo kamu keluar kamu punya banyak kesempatan mengenal dunia. Siapa tau nanti di jalan ketemu polisi ganteng atau pengusaha kaya yang kesepian juga."

"Pengusaha kesepian tapi di rumah ninggalin anak istri gitu ya?" cibirku.

"Eh, ya jangan dong. Masa kamu nanti jadi orang ketiga sih?" ibu memukul pelan lenganku.

"Lah, Bu, jodoh mah ga usah dicari kan udah digariskan sama Allah. Lagian kenapa sih ibu akhir-akhir ini tiap weekend selalu nanya itu?"

"Jodoh dijemput juga tau, Mir-"

"Iya tapi ga mungut di jalan juga, Bu. Udah ah, aku mau males-malesan dulu. Aku capek banget kemarin-kemarin." Iya, capek badan capek hati. Sudah kubilang kan kaunitku di unit baru ini pantang menyuruh anak buahnya pulang cepat meski bisa. Entahlah, sepertinya dia mungkin punya masalah dengan istrinya hingga tidak betah di rumah dan tidak ingin pulang cepat. Orang-orang di kantor juga membuatku tak nyaman bekerja. Tak ada satu haripun yang kulewati tanpa mengeluh. Ya Allah, maapin aku tapi aku emang benci banget kerja di unit yang baru ini.

"Mir, umurmu udah 26 mau 27 loh-"

"Hmm..."

"Masa ga ada yang mau kamu kenalin ke ibu gitu?"

"Hmm..."

"Tik tok. Tik tok. Waktu terus berjalan loh, Mir. Itu cucunya Bu Nur yang rumahnya di pojokan itu udah nikah minggu lalu. Usianya padahal lebih muda dari kamu loh. Kamu kapan?"

"Hmm..."

"Samira Daneswari!!" ibu membentakku dengan kesal.

"Apa sih, Bu?" aku menurunkan komik yang sedang kubaca dan melihat ibu dengan pandangan aku-ingin-di-rumah-aja-istirahat-dengan-tenang-please.

"Mandi sana. Pergi kemana kek daripada males-malesan di rumah."

Ya Allah, hamba males-malesan dari mana sih? Dari Senin sampe Jumat kerja dari jam 08.00 sampe jam 21.00 itu males emangnya? Hamba cuma pengen istirahat dua hari aja, ya Allah.

"Mir-"

"Iya, iya. Aku mandi. Aku ga akan pulang kalo belum nemu jodoh di jalan." Aku akhirnya beranjak dari kasur dengan sebal.

"Nah, gitu dong." Ibu tersenyum penuh kemenangan.

Aku akhirnya pergi keluar rumah pukul 11.00 dan naik motor tanpa tujuan. Karena keadaan di luar sudah mulai panas, aku menepikan motor di sebuah pusat perbelanjaan.

Melipir ke KFC boleh juga lah ini. Laper. Batinku.

Akhirnya aku memesan makanan di restoran cepat saji itu, duduk di bangku paling pojok, dan makan dengan lahap. Setelah makananku habis aku memandangi keadaan sekitar. Ini hari Sabtu. Mall ramai oleh orang-orang yang menghabiskan akhir pekan mereka bersama keluarga, teman, pacar- Hmm, pacar. Aku bahkan sudah lupa rasanya punya pacar.

Tiba-tiba aku ingat di lantai atas ada bioskop. Iseng saja aku menuju lantai atas untuk melihat adakah film bagus yang sedang tayang. Ternyata ada film barat yang sedang ingin kutonton. Jadilah aku membeli tiket, duduk menunggu pintu studio dibuka, masuk ke studio, menonton filmnya sampai selesai, dan menjadi satu-satunya orang yang keluar dari studio sendirian. Benar-benar sendiri.

Aku malah pergi menuju toko buku di lantai bawah dan mencari komik-komik atau novel yang layak kubaca. Inilah surgaku. Toko buku. Aku mengambil dua buah novel terjemahan dan 5 komik sekaligus dan membawanya ke meja kasir.

"Tumben, Mbak, datengnya agak siang. Biasanya sorean," mas-mas kasir menghapalku rupanya karena aku selalu datang kemari tiap akhir pekan.

"Iya, Mas. Lagi pengen keluar jam segini," kataku sembari menyerahkan kartu debit untuk membayar tagihanku. Mas-mas itu menggesek kartuku di mesin EDC dan membungkus belanjaanku.

"Terima kasih," pungkasnya dengan senyum ramah sambil menyerahkan kantung plastik berisi buku-buku yang sudah kubeli.

Aku membuka ponselku. Kulihat teman-temanku membuat status di BBM mereka pergi kesana kemari. Ada yang keluar kota, ada yang ke rumah saudara, dan sebagainya. Hidup mereka terlihat sempurna karena mereka punya teman dan pasangan. Sementara aku?

Aku jadi teringat dengan pesan dari seorang mantan yang tiba-tiba datang mendekat lagi.

Kamu udah kerja mapan jadi pegawai bank pasti selera kamu soal cowok udah berubah ya?

Hhhh, aku mendengus. Seleraku berubah? Tidak. Aku hanya banyak belajar dan semakin mengenal banyak kepribadian orang-orang ketika beranjak dewasa sehingga kini aku jadi lebih berhati-hati mencari pasangan. Kenapa aku jadi se-mellow ini? Bukankah aku baik-baik saja selama ini meski tidak punya pacar? Memangnya kebahagiaan seseorang hanya bisa diukur dari punya tidaknya pacar? Tidak kan?

-

NO COMMENT DAH SAMA BAB INI!! 🙊🙊

Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang