Aku kaget saat sesi meeting pagi yang rutin kami lakukan sebelum mulai bekerja, bukan Pak Norman yang memimpin melainkan seorang wanita berjilbab dengan tubuh mungil yang aku belum tahu namanya.
"Selamat pagi rekan-rekan sekalian," sapa wanita itu.
"Pagi," aku, Rifat, Mbak Ziya, Mas Satya, Mas Eko, serta Pak Iman yang mengikuti meeting pagi itu kompak membalas sapaan wanita itu.
"Pagi, Bu."
"Mulai hari ini saya menggantikan tugas Pak Norman sebagai kepala unit di sini. Ada yang masih belum kenal saya?" wanita itu tersenyum pada kami semua tapi aku tahu sebenarnya dia menujukan pertanyaan itu padaku.
"Saya Listiana-"
"Udah pada tau, Bu!" serempak Mbak Ziya, Mas Satya, dan Mas Eko menyela sambil terkekeh. Kuterka mereka mungkin akrab dengan wanita ini sebelumnya sehingga mereka bisa berbicara sesantai itu. Kalau tidak akrab, mana mungkin mereka berani menyela ucapan bos mereka? Bisa auto evaluasi pasti.
"Rifat? Pak Iman? Sudah tau saya?" tanya wanita bernama Listiana itu pada Rifat dan Pak Iman yang dibalas dengan anggukan mereka berdua.
"Berarti Dek Mira yang belum tau ya?" tanyanya padaku yang kujawab dengan senyuman canggung.
"Tapi ibu udah tau saya kan? Berarti saya lebih terkenal dari ibu," aku meringis. Yang lain tertawa geli. Sementara Rifat menoyor kepalaku sambil berucap 'ga sopan' dengan isyarat bibir. Aku nyengir lalu menggigit bibir.
"Maap, Bu. Keceplosan! Kebiasaan nyaut."
"Haha ga papa. Tapi iya juga ya." Bu Listiana terkekeh mendengar candaanku alih-alih marah. Sepertinya beliau orang yang asyik dan easy going. "Oke, sekian saja meeting pagi ini. Ga usah kelamaan. Intinya hal ini bisa saja terjadi. Pergantian kepala unit itu udah biasa. Sama seperti mutasi teller dan CS yang tiba-tiba itu lah kurang lebih." Bu Listiana mengarahkan tatapannya padaku. Mungkin karena aku pegawai yang terhitung paling anyar masuk di Bank Nusantara sehingga dianggap masih kaget dengan pergantian yang tiba-tiba ini. Udah persis kayak mood cewek pas lagi PMS. Ga bisa ditebak.
"Mohon kerja samanya aja ya untuk menyukseskan unit ini biar dapet SIPK," kata Bu Listiana mengakhiri meeting pagi itu yang disambut sorakan 'siap' dari kami semua.
"Bu, password sama kuncinya-" aku berkata pada Bu Listiana yang sudah duduk di kursi di ruangannya.
"Oh, iya. Sebentar," kemudian beliau mengambil sebuah kunci panjang dari dalam tasnya lalu berjalan ke meja teller untuk mengetikkan password di kotak dialog yang muncul tiap kali aku akan kas bon. Kunci panjang yang diambil Bu Listiana itu kunci brankas. Di bank, kami biasa memberikan pengamanan ganda. Brankas dikunci dengan gembok yang kuncinya kusatukan bersama dengan kunci laci meja teller, sedangkan kunci brankas sendiri dipegang oleh kepala unit. Kunci memang sengaja dipegang oleh dua orang berbeda agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan suatu hari nanti karena kekhilafan atau keteledoran yang menyebabkan hilangnya uang yang disimpan di brankas.
Bu Listiana menandatangani nota kas bon teller di mejaku sementara aku segera mengambil uang yang disimpan di brankas untuk kumasukkan ke dalam kas teller.
"Dek Mira, nanti kita isi ATM ya. Pas saya cek kok uangnya sudah sedikit. Di brankas ada 400 juta kan? Belum disetorkan ke TKK kan?" tanya Bu Listiana.
"Oh, memang uangnya mau buat isi ATM kok, Bu. Pak Norman sudah bilang begitu kemarin."
"Oh, ya sudah." Bu Listiana mengangguk kemudian berlalu pergi ke ruangannya kembali. Aku bengong di meja teller.
Kayak ada yang kurang. Tapi apa ya? Aku menggaruk-garuk kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
General FictionApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...