"Halo, Mbak Samira!" sapa Pak Darminto padaku siang itu.
Astagfirullah. Pait pait pait. Aku merapal mantra dalam hati. Padahal itu biasanya mantra yang kupakai buat ngusir tawon.
"Apa kabar?" dia mencoba berbasa-basi.
"Masih mual, Pak, gara-gara dikasih banyak receh tempo hari," jawabku frontal.
Pak Darminto terkekeh. "Ah, baru 1,5 juta to? Hari ini saya bawa lagi 1 juta. Featuring cepekan!"
Innalillahi.
Pak Darminto menyerahkan sejumlah uang setoran SPBU padaku. Jumlahnya tidak seberapa memang. Tapi yang membuat tercengang adalah jumlah recehannya. Beliau ini sebenarnya semacam walk in customer tapi sering setor tunai giro di unitku. Entah beliau bekerja di bagian apa tapi yang kutahu beliau selalu setor uang yang dicatatnya sebagai pendapatan SPBU pada bagian remark.
"Makasih ya, Mbak Samira," katanya sebelum beranjak pergi setelah aku menyerahkan tindasan slip penyetoran padanya.
"Sama-sama, Pak. Besok-besok jangan kasih receh lagi ya, Pak. Stoknya udah banyak."
Pak Darminto justru tertawa terbahak. "Lha, ya mosok mau saya bawa pulang uang recehnya? Terus mosok mau saya larang-larang pembeli bayar pake uang receh? Bisa bangkrut SPBU-nya dong."
Pinter banget nih orang ngeles.
"Mbak Samira itu lho ada-ada aja." Pak Darminto berkata lagi dengan logat medok yang lucu.
Aku menatap nanar pada seplastik besar uang cepekan dan gopekan yang tergeletak angkuh di bawah mejaku. Mereka seperti mengejek: enyahkan saja aku maka kelak kau akan terus kuhantui. Ya Allah, ini mantan ngajak balikan apa uang recehan sih kok ngejer-ngejer mulu? Belum kering ingatan syokku setelah menerima beratus-ratus keping uang gopekan berjumlah 1.5 juta kini aku harus diberi uang receh lagi sejumlah 1 juta!
Well, tipe nasabah kayak Pak Darminto ini adalah salah satu tipe nasabah yang agak dihindari oleh hampir semua teller- agaknya. Soalnya nasabah yang masuk ke kategori ini biasanya bikin teller frustrasi. Gimana ga frustrasi kalo setoran pake duit receh? Tiap hari pula! Tapi beruntungnya unitku sering banget kedatengan nasabah yang selalu minta tukar uang receh. Meski tak langsung habis tapi jumlah recehan di unitku mudah berkurang secara signifikan. Maklum, unitku bekerja dekat dengan usaha pembuatan kapal dan perbekalannya. Para juragan biasanya membayar upah buruh dengan sistem mingguan di hari Kamis atau Jumat dan ini lebih dikenal dengan istilah pocokan.
Masih inget kan kasus recehannya Mbak Dania yang sukses mengantarkannya ke kolom surat pembaca? Itulah sebabnya aku tak bisa menolak setoran receh Pak Darminto meski ingin. Aku tak ingin nasibku berakhir dengan dimutasi di unit paling ujung, paling pelosok, paling menyedihkan di kota.
"Ada yang setor receh lagi, Dek?" tanya Bu Listiana saat melihat onggokan uang recehan itu ketika beliau hendak mengambil tumpukan bukti transaksi yang ada di mejaku untuk dicek.
"Iya, Bu, dari SPBU."
"SPBU? SPBU mana?"
Aku mengedikkan bahu. "Bukan rekening cabang yang jelas. Mungkin luar kota. Semarang mungkin."
Bu Listiana hanya mengangguk. Beliau berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Ah, tidak, aku salah-
"Dek, kalo bisa uang recehnya segera didistribusikan ya. Soalnya brankasnya ga cukup kalo buat nyimpen recehan terlalu banyak." Bu Listiana akhirnya berkata demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
General FictionApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...