1 • Lowongan Kerja

8.5K 495 15
                                    

"Ada lowongan kerja tuh di bank tempat ipar kamu kerja," kata ibu saat aku masih sibuk membuat bahan ajar untuk murid-muridku di tempat kursus di ruang tengah.

"Tempatnya Mas Hendi?" tanyaku pada ibu. Ibu mengangguk. Mas Hendi adalah suami Mbak Ajeng, kakak pertamaku. Aku tahu dia bekerja di sebuah bank BUMN sudah lama. Kalau tidak salah sejak aku masuk SMA berarti sekitaran tahun 2003.

"Coba kamu masukin lamaran. Daripada cuma kerja di tempat kursus. Gajinya, 'kan, ga seberapa," bujuk ibuku penuh pengharapan aku akan mengiyakan.

"Tapi aku, 'kan, bukan lulusan akunting, Bu. Mana bisa kerja di bank?"

"Kata Hendi bisa kok. Buka lowongan buat semua jurusan S-1. Coba aja. Siapa tau rejeki."

"Hng." Aku hanya menggumam.

Ah, ibu. Aku tahu ibu selalu punya segala cara untuk membujuk. Sementara aku tidak enak untuk menolak. Nanti dibilang anak durhaka.

"Mir." Ibu menegur. Sepertinya menungguku menjawab iya atas permintaan— ralat, titah. Ibu tidak pernah meminta. Segala perkataannya harus jadi sendiko dawuh. Jadi akhirnya kuiyakan saja.

Toh, belum tentu diterima juga, pikirku saat itu.

"Iya deh."

"Nah, gitu dong. Nanti ibu tanyain ke Hendi syarat lamarannya apa aja terus dikirim kemana."

Wajah ibu langsung berbinar-binar sesaat setelah aku menyanggupi keinginan ibu. Niat ibu memang bagus sih bantuin aku nyari kerjaan yang lebih baik. Tapi passion-ku sebenarnya bukan di dunia perbankan. Aku ini ngitung satu tambah satu aja hasilnya jadi kita gimana bisa kerja di dunia perbankan? Bisa-bisa pas aku ngitung duit hasilnya jadi cinta. Iyalah, cinta. Siapa sih yang ga demen duit? Nah, bahaya, 'kan. Apalagi kalo aku khilaf bukannya masukin duit ke brankas malah masukin duit ke tas.

Tapi untuk menghindari cecaran ibu yang tak akan berhenti sampai aku menyerah dan berkata iya sekaligus untuk menyelamatkan kupingku dari bujuk maut ibu dan nasihat-nasihat bijak ibu, aku iyakan saja. Sudah kubilang, 'kan, belum tentu juga aku diterima. Bekerja di bank itu identik dengan wajah rupawan. Yah, seenggaknya menarik lah. Aku tidak memiliki keduanya. Wajahku memang ga jelek sih tapi juga tidak bisa masuk kategori di antara dua itu. Tapi kalo soal bahasa Inggris aku bisa jamin. Jaminan sesat. Hehehe. Nggak lah, skripsiku dapat nilai A kok dulu yang kuketik dengan bahasa Inggris. Sombong dikit ga papa lah ya.

Setidaknya kalau aku mencoba mendaftar dan gagal aku bisa punya alasan untuk tidak bekerja di sana. Entahlah, aku sejujurnya tidak punya selera bekerja di dunia itu. Aku tidak suka mengerjakan sesuatu yang bukan passion-ku. Lagipula kalau aku diterima kerja di sana ada Mas Hendi. Aku tak nyaman harus bekerja dengan orang yang masih jadi keluarga. Aku tak mau diterima bekerja hanya karena ada orang dalam. Rasanya hati nuraniku tidak bisa menerima itu kalau memang itu terjadi. Aku tidak suka menggunakan kekuasaan atau hak istimewa orang lain. Aku lebih suka dipandang orang karena aku memang punya kemampuan. Bukan sekadar punya koneksi. Aku juga tidak mau dipandang sebelah mata. Dianggap tidak memiliki kemampuan selain karena koneksi orang dalam.

Akhirnya aku pun mendaftar dan ternyata hasilnya ....

"Mir, kamu dapet surat nih!" teriak ibuku suatu hari, dua minggu setelah aku mengirim lamaran kerja.

"Surat apaan sih? Bukain dong, Bu. Bacain sekalian!" Aku balas berteriak dari dalam kamar mandi. Aku, 'kan, lagi enak-enak pup dan belum keluar pula. Masa cuma gara-gara ibu ngasih tahu ada surat, aku harus merelakan kekhusyukanku buang hajat?

"Dih, kamu durhaka banget sama orang tua. Nyuruh-nyuruh!" kata ibu yang malah berlalu pergi.

"Lah, ibu aja yang heboh. Aku, 'kan, lagi pup tadi," kataku begitu keluar dari kamar mandi setelah berhasil mengeluarkan sebongkah "berlian" hitam. "Emang surat apaan sih?"

"Surat— Ga tau juga ini surat apaan. Kayaknya sih surat panggilan kerja. Emang tempo hari kamu juga ngelamar di tempat lain ya?" tanya ibu seraya menyerahkan sepucuk surat dengan amplop warna putih dan kop nama perusahaan di bagian atas.

Aku membaca nama perusahaan di kop suratnya. Oh.

"Surat apaan, Mir? Bener, 'kan, surat panggilan kerja? Diterima, 'kan?" Ibu masih kepo.

"Ibu yakin bener aku udah pasti diterima? Dari mana?"

"Dih, kamu bawel banget sih jadi anak. Pantesan jomblo mulu. Ga ada cowok yang mau jadi pacar kamu. Kalo pacaran sama kamu pasti kamu ngomel mulu. Banyak nyahut. Banyak nanya. Udah, mending itu surat dibuka dulu aja biar tau isinya apa."

Astaga. Jadi selama ini aku jomblo karena ibu nyumpahin?

"Makasih, Bu."

"Makasih buat apa?" Ibu mengernyit heran atas ucapan terima kasihku.

"Aku bisa tidur nyenyak malam ini. Berkat kata-kata Ibu barusan, kini aku tau kenapa aku jomblo mulu. Ternyata karena disumpahin Ibu."

"Sontoloyo!" Ibu menoyor kepalaku. "Udah sana buruan buka. Ibu ga sabar mau tau isinya apa."

"Iya, iya."

Aku pun membuka amplop surat itu. Kubaca isi suratnya yang diketik rapih di atas kertas HVS F4 dengan teliti. Jujur saja aku tak mau banyak berharap. Meski awalnya kupikir aku takkan tertarik dengan bekerja di bidang perbankan, tapi mengingat gaji yang mungkin kuterima membuatku jadi sedikit tergoyahkan juga. Aku sedikit berharap pada akhirnya meski tak mau berlebihan berharap. Aku udah sering di-PHP-in. Sakit rasanya.

"Aku ..." Aku membuat wajah sok sedih di depan ibu sementara ibu menungguku melanjutkan kalimatku yang masih menggantung, "diterima!"

"Alhamdulillah." Malah ibu yang merasa lega. Yah, mungkin selama ini aku dianggap beban hidup sama ibu karena selalu ngabisin jatah beras di rumah padahal ga pernah ngasih kontribusi apapun.

"Di bank tempat Mas Hendi kerja atau di tempat lain?" tanya ibu kemudian setelah sadar aku belum memberi penjelasan lanjutan apapun.

"Di tempat Mas Hendi kerja."

"Tapi kok nama perusahaan di kop suratnya beda?" tanya ibu bingung.

"Iya, emang gitu, Bu. Tempat Mas Hendi kerja itu nerapin sistem outsourcing yang mulai dicanangkan pemerintah di tahun 2004. Outsourcing itu alih daya. Jadi perusahaan menyerahkan rekrutmen pegawai ke pihak ketiga. Nah, sebetulnya kalo aku diterima kerja di tempat Mas Hendi statusku bukan pegawai sana tapi pegawai perusahaan penyedia jasa alih daya ini."

"Terus?" Ibu masih tidak paham.

"Ya, ga ada terusannya. Perusahaan tempat Mas Hendi kerja itu yang nerima aku kerja memang. Aku bakal kerja di sana tapi secara status aku bukanlah pegawai sana. Rekrutmen pegawai pun juga berdasarkan standar perusahaan alih daya ini karena sejatinya aku ini bakal jadi pegawai perusahaan mereka. Untuk sistem penggajian pun juga begitu. Aku digaji dari perusahaan alih daya ini yang didapat mereka dari perusahaan Mas Hendi kerja. Tapi nanti gajinya pasti ga penuh karena aku kayak bagi hasil jadinya gitu sama mereka. Sebagai tanda terima kasih buat bayar jasa mereka yang udah bantuin aku buat dapetin kerja."

"Jadi mereka itu kayak ... Calo?" Ibu akhirnya mengerti penjelasanku setelah kujelaskan panjang lebar.

"Nah, kurang lebihnya begitu."

"Terus gaji kamu dipotong berapa lama? Seberapa banyak?"

"Kontrak perusahaan biasanya per tahun. Jadi nanti selama setahun penuh aku bakal potong gaji terus. Kalo berapanya aku ga tau, Bu, 'kan, belum mulai kerja. Jadi belum ada kontraknya."

Ibu manggut-manggut. "Yah, ga papa lah daripada kamu kerja di kursusan. Masa per jam gajinya cuma sembilan ribu perak? Buat beli pulsa aja ga cukup."

Aku nyengir. Ya, gimana lagi? Daripada aku nganggur juga bukan pilihan tepat. Lagipula kupikir bekerja di kursusan tak buruk juga karena ilmuku terpakai. Namun, kadangkala keserakahan membuat orang lupa bahwa rejeki sekecil apapun adalah nikmat. Dan itulah yang membuatku berdoa agar aku diterima bekerja di bank. Tujuanku satu: agar aku bisa mendapat penghasilan yang lebih layak. Aku tak sadar bahwa ada banyak konsekuensi di depannya setelah aku terjun ke dunia ini yang membuatku pada akhirnya menyerah setelah tiga tahun bekerja.

***

Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang