20 • Bukan Cerita Roman (2)

890 120 0
                                    

Hari ini unitku kedatangan seorang pegawai OJT alias On Job Training- pegawai sebelum ditempatkan di unit kerja yang benar-benar membutuhkan tenaganya. Jadi sepanjang hari kerjanya hanya melihat-lihat cara kerja kami- aku dan Rifat- dan sesekali membantu kami seperti asisten. Well, dia ga sepenuhnya jadi asistenku karena dia lebih memilih membantu Rifat yang sebenarnya ga butuh bantuan apapun karena dia cekatan- super cekatan. Maklum lah, pegawai OJT-nya cewek. Namanya Ratih.

"Mbak, di sini kalo makan siang kemana ya?" tanya Ratih padaku saat aku tengah menghitung uang dalam kas teller dan menatanya seperti pengidap OCD- sangat rapih. Bukannya menjawab pertanyaan Ratih, aku malah mengagumi hasil karyaku sendiri. It's a masterpiece, pujiku pada diri sendiri sambil tersenyum puas.

"Mbak-"

"Eh, iya, a-ada apa?" aku sampai terlonjak kaget dari kursiku yang beroda dan hampir terjengkang kalau Ratih tidak memegangi sandaran punggungnya.

"M-maaf, Mbak, aku ga bermaksud ngagetin tadi." Ratih malah jadi tak enak hati.

"Ga papa ga papa. Kamu tadi nanya apa?"

"Di sini kalo makan biasanya dimana?" ulangnya.

"Emang udah waktunya makan siang?" aku melihat jam tangan 40 ribuan yang melingkar di tangan kiriku. Ya, meski aku punya cukup uang untuk beli jam tangan mahal, aku tetap memilih jam tangan murahan. Kenapa? Karena kalaupun aku beli jam tangan mahal ga akan ada yang percaya itu asli. Sia-sia juga kan kalau mau pamer?

"Eh iya, kok udah jam 12 aja sih?" aku lalu membereskan uang-uangku dan memasukkannya ke laci yang kukunci. Aku pun segera beranjak dari tempat dudukku dan melenggang ke ruang belakang. Banking hall sepi sedari pagi karena hujan turun cukup deras. Ini baru namanya hujan berkah. Sekali-kali aku pengen gabut ga papa kan ya?

"Oh iya-" aku berbalik lagi. Baru ingat kalau aku meninggalkan Ratih di ruangan teller. Mungkin dia sedang cengok sekarang karena kutinggal begitu saja. Tapi dugaanku salah. Ternyata dia sedang tertawa bahagia.

"Oh, makan di warung depan ya, Mas?" kulihat wajah putih Ratih merona karena tersipu disapa Rifat.

"Iya, mau bareng?" tawar Rifat.

"Boleh boleh," tentu saja Ratih menyanggupi. Jangan-jangan ajakan Rifat itu dianggap sebagai sinyal traktiran oleh Ratih?

"Kamu jangan ngajakin Mira makan. Dia makannya kembang tujuh rupa atau ayam cemani. Itupun tiap malem Jumat jadi percuma ngajakin dia makan," bisik Rifat tapi masih kudengar.

"Emangnya aku jin?" hardikku yang sudah berdiri di belakang Rifat, bersiap menimpuknya dengan sebundel aplikasi AR 01- formulir untuk pembukaan rekening- yang kutemukan di meja CS.

"Tuh kan bener dia jin. Dia bisa denger. Yuk, cabut aja!" Rifat cekikikan sambil menggandeng lengan Ratih yang membuat gadis berkacamata itu tercekat sejenak.

"Mbak Mira gimana?" dia bertanya pada Rifat tapi melihat nelangsa ke arahku.

Aku mengibaskan tangan. "Udah, sana kalo mau makan berduaan. Aku ga bakal ganggu. Aku udah bawa bekel dari rumah," aku menepuk-nepuk tas berisi Tupperware set yang telah diisi berbagai makanan oleh ibuku. Heran? Iya. Aku juga heran ibuku masak pagi ini. Ga papa. Berkah lagi karena bisa hemat uang makan sehari.

"Aih, mesranya," ledekku saat melihat Ratih dan Rifat kembali dari warung depan dengan memakai payung berdua setelah dua puluh menit kemudian.

"Cieee, cemburu ya, Mir?" Rifat balas meledek.

Aku menjejalkan perkedel kentang ke mulut Rifat yang membuat Rifat gelagapan.

"Aku bisa mati kehabisan napas, Mir!" protes Rifat tapi tetap mengunyah perkedel itu. "Minum dong!" dia segera menyambar botol minumku dan meneguk setengah botol isinya yang tersisa.

Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang