Pagi-pagi aku kedatangan seorang nasabah. Ibu-ibu. Usianya mungkin sudah lewat 40 tahun. Dengan takut-takut, si ibu duduk di kursi depan meja CS.
"Ada yang bisa dibantu, Bu?" tanyaku.
"Ngg, anu, Mbak. Saya mau ngecek apa uang di tabungan saya masih ada?" tanya si ibu. Wajahnya terlihat gelisah seolah sedang terlilit masalah.
"Oh, baik. Buku tabungannya dibawa? Nanti biar saya cetakkan."
Si ibu mengangguk. Dia merogoh jarik yang diselempangkan ke bahunya. Mungkin itu jarik untuk menggendong bakul karena aku tidak melihat anak bayi atau balita di sekitar si ibu. Nampaknya si ibu juga tidak mengajak serta orang lain untuk dititipi bayi atau balita. Jadi aku berasumsi itu memang jarik untuk menggendong bakul. Tapi aku juga tidak melihat si ibu membawa bakul. Mungkin bakul itu diletakkan di teras samping atau depan kantor. Aku tidak heran. Banyak nasabah yang berbuat begitu terutama nasabah unit yang letak kantornya agak di pinggiran kota. Mereka menganggap bahwa kantor bank itu layaknya masjid. Tidak boleh dikotori. Beberapa di antara mereka ada yang masuk ke dalam banking hall dengan melepas sandal padahal tidak ada tulisan batas suci di pintunya. Ada juga yang melepas sandal sebelum masuk ke ruang ATM. Tapi perilaku seperti itu yang membuatku respek terhadap orang-orang desa. Mereka masih menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun. Tidak seperti orang-orang kota yang beberapa di antaranya kadang justru mengabaikan nilai-nilai mulia dalam masyarakat.
"Ini, Mbak." Si ibu menyerahkan buku tabungan yang diambilnya dari dalam lipatan jarik tadi. Rupanya selain bisa digunakan untuk menggendong bakul, jarik itu juga berfungsi bak kantong ajaib.
"Baik. Ditunggu sebentar ya, Bu," kataku yang dibalas anggukan si ibu. Aku segera mencetak buku tabungan si ibu. Hanya ada kurang dari sepuluh baris transaksi yang berhasil dicetak. Entah karena usia rekening itu sudah cukup lama sehingga komputer secara otomatis menyingkat transaksi-transaksi yang pernah ada atau karena memang hanya ada sedikit transaksi yang pernah dilakukan melalui rekening tersebut.
Aku menyerahkan buku tabungan itu kembali pada si ibu.
"Uangnya masih ada, Mbak?" tanya si ibu tanpa repot-repot melihat saldo dalam buku tabungannya.
"Sudah habis, Bu. Itupun sebentar lagi rekeningnya akan dormant karena sudah lama tidak ada transaksi."
"Dor- apa?" si ibu tak paham.
"Dormant, Bu. Rekeningnya terblokir. Sebentar lagi akan mati. Tutup. Karena sudah lama tidak ada transaksi masuk ataupun keluar. Tapi kalo dalam masa dormant ini ibu menabung lagi masih bisa dibukakan blokirnya," terangku dengan bahasa yang kuharap bisa dipahami si ibu.
Si ibu terdiam. Kukira dia tak paham tapi ternyata bukan itu masalahnya.
"Uang tabungan saya benar-benar habis, Mbak?" si ibu bertanya dengan wajah lunglai. "Padahal saya kan ga pernah ambil tabungan saya lagi sejak lama. Seingat saya, saya masih punya sekitar 200.000 di tabungan ini."
Aku tersenyum. "Iya, memang benar, Bu. Tapi setiap rekening tabungan pasti dikenai biaya administrasi per bulan. Nah, karena rekening ibu tidak pernah diisi lagi sementara biaya administrasi ada terus maka lama-kelamaan uang yang ibu simpan di tabungan itu akan habis dengan sendirinya."
"Oh, begitu." Si ibu berkata lirih.
"Iya, Bu, makanya tabungannya diisi ya," kataku dengan senyun yang terpasang default.
"Gimana mau nabung, Mbak, wong saya malah lagi butuh uang." Si ibu memilin-milin jarik-nya. Ada nada sedih dari suaranya.
"Anak saya mau bayaran sekolah tapi suami lagi ga ada kerjaan. Udah tiga bulan ini nganggur. Jualan saya kan untungnya juga ga seberapa, Mbak. Jadi saya bingung mau bayar sekolahnya gimana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
Fiksi UmumApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...