4 • Horror Story 👻

2.8K 252 8
                                    

Aku dan Mbak Anggia baru saja selesai makan malam. Sudah hampir dua minggu kami mengikuti diklat.

"Mir, kamu naik duluan aja deh ke kamar," kata Mbak Anggia padaku.

"Lah, kenapa?" Aku bertanya bingung.

"Aku mau ambil laundry-an dulu. Kamu ada laundry-an ga?"

"Ngg, nggak sih. Aku kemarin udah nge-laundry soalnya."

"Kalo ada nanti bisa titip ke aku. Nanti aku ambilin sekalian maksudnya."

"Ngg, aku tungguin aja deh, Mbak. Daripada aku duluan ke kamar." Aku menolak ide Mbak Anggia. Aku ngeri kalo harus naik lift sendiri.

"Yeee, kalo kamu ikut nunggunya pasti lama. Tau sendiri kan pas tempo hari kita ambil laundry-an kayak apa ramenya tuh tempat laundry hotel sampe mas-mas petugasnya bingung kudu ngelayanin siapa dulu. Mana anak dari kelas sebelah barbar banget lagi kelakuannya. Tukang nyerobot antrean," bisik Mbak Anggia saat mengucapkan dua kalimat terakhir karena kulihat ada dua orang peserta diklat dari kelas sebelah yang berasal dari kota lain melewati kami.

"I-iya sih."

Aku jadi teringat kejadian beberapa hari lalu saat kami hendak mengambil baju yang sudah selesai di-laundry. Kami harus berdesak-desakan dengan peserta diklat lain dan bahkan harus berteriak-teriak memberi arahan pada petugas laundry di antara keriuhan manusia lain yang sama-sama berteriak tak sabar. Itu cukup menguras energi. Apalagi aku paling tidak suka mengantre.

Sebenarnya bisa saja sih kami meminta baju kami diantarkan ke kamar masing-masing tapi karena jumlah baju peserta diklat cukup banyak, petugasnya kadang hanya mengantarkan baju-baju tamu lain yang bukan peserta diklat. Kayaknya mereka terlalu malas untuk mengantarkannya satu per satu ke kamar. Apalagi kamar peserta diklat terpencar juga di lantai yang lain. Tidak terpusat pada satu lantai. Lagipula Mbak Anggia juga lebih suka mengambil sendiri bajunya ke tempat laundry setelah makan malam.

"Selama kita masih bisa pake tangan kaki, jangan males gerak. Kalo bisa jangan ngerepotin orang lain." Begitu prinsip Mbak Anggia yang diutarakannya padaku. Dia dua tahun lebih tua daripada aku makanya cenderung lebih dewasa. Tapi untuk urusan makan, dia lebih barbar.

Aku mempertimbangkan akan mengikuti saran Mbak Anggia atau menunggu saja.

"Udah, kamu duluan aja ke kamar. Aku ga enak kalau kamu ikut nungguin di sini. Kasian kamu juga nanti jadi bete. Parahnya, kalau kamu sampe ketiduran di sini. Bisa berabe," desak Mbak Anggia.

"Lah, lebay deh. Masa sampe ketiduran?" tepisku.

"Kamu, 'kan, udah kenyang tadi, Mir. Biasanya kamu kalau udah kenyang suka tidur kapan aja di mana aja," seloroh Mbak Anggia yang langsung membuat bibirku manyun lima senti.

"Eh iya, kamu lupa tadi kamu pesen pizza?" Mbak Anggia tiba-tiba berteriak, memperingatkan.

Aku menepuk jidat. "Astagfirullah, hampir aja lupa!"

"Lagian kamu baru aja makan udah pesen pizza aja. Emang bakal abis?" Mbak Anggia menatap sangsi.

"Aku tuh kalo makan emang dikit, Mbak, tapi kalo ngemil kuat banget. Nah, kalo kamu ngemil sama makan besar sama kuatnya. Tapi herannya bodi masih mungil aja. Dikemanain tuh makanan? Kamu periksa gih sana siapa tau cacingan. Cacingnya bukan cacing biasa tapi cacing besar Alaska-nya Spongebob."

"Eh, sialan!" Mbak Anggia bersiap melempar sandal jepit bututnya padaku tapi aku buru-buru kabur sambil menjulurkan lidah mengejeknya.

"Dih, dia ngejek-ngejek aku abis makan langsung pesen pizza. Padahal dia sendiri kalo makan lebih parah lagi. Nasi, mi, roti semua dia embat ga bersisa sekaligus." Aku berkata pada diriku sendiri sambil menendang-nendang kerikil di depanku.

Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang