"Mbak-" seorang nasabah mendatangiku lalu melirik papan nama di meja teller. "-teller ya?"
"Iya, Bu-" aku senyum kecut. Kirain dia baca namaku. "Saya Samira. Ada yang bisa dibantu?"
Hari itu kantor unit cukup sepi. Hanya ada aku, Rifat, satpam yang berjaga di luar, dan nasabah perempuan yang kutaksir umurnya sekitar 35 tahunan itu yang kini sudah berdiri di depan mejaku.
"Anu, Mbak Teller, saya mau minta uang," jawab nasabah itu yang ternyata bernama Rumiyem setelah kubaca identitas di KTP yang dia letakkan di atas meja teller.
Minta uang? Si ibu ngemis gitu maksudnya?
"Min-minta uang gimana ya maksudnya, Bu?" aku terpaksa bertanya karena tak paham dengan diksinya.
"Anu, gini loh, Mbak. Saya kan tempo hari dapet bantuan desa itu lho. Katanya kalo mau diambil disuruh ke sini aja gitu sambil bawa KTP terus disuruh ketemu mbak-mbak yang ada di meja yang tinggi-"
"Oh-" aku baru paham maksud si ibu. Dua minggu yang lalu memang di unit ada pembuatan rekening massal untuk penerima bantuan dana desa. Aku sampai harus mengebut menyelesaikan pengerjaan rekening massal ini. "Ibu Rumiyem sudah menulis slip penarikan dan bawa buku tabungan?" tanyaku.
"Hah? Apa? Slip? Slip itu apa ya? Terus bawa buku apa ya, Mbak? Saya cuma disuruh bawa KTP aja kok."
Astagfirullah. Cobaan apa lagi ini? Apakah nasabah barbar masih belum cukup menyiksaku?
"Jadi kalo mau ambil uang di sini, ibu harus bawa buku tabungan, Bu. Tempo hari pasti ibu dikasih buku tabungan kan sama petugas desa?"
Si ibu mengerutkan dahi. Nampaknya sedang menggali ingatannya tentang buku tabungan.
"Oh, iya iya. Yang kecil itu ya, Mbak?" si ibu akhirnya berhasil mengingatnya.
"Nah, iya, Bu. Yang warna kuning-" aku mencari-cari contoh buku tabungan yang sama di meja teller. "-seperti ini," aku menunjukkan sebuah buku tabungan berwarna kuning.
"Sebentar sebentar, Mbak. Sepertinya ada. Saya bawa kayaknya," si ibu mengaduk-aduk isi tasnya dan bersorak ketika menemukan buku yang dicari.
"Ibu tulis slip penarikan dulu ya-" aku memberikan selembar kertas persegi panjang berwarna putih dengan tulisan yang dicetak dengan tinta warna merah. "-ibu tulis di sini mau ambil uangnya berapa."
Si ibu tampak kebingungan. "Anu, Mbak, saya ini buta huruf. Ndak bisa baca tulis."
Aku mendesah. Baiklah.
Di lain hari, ada lagi nasabah seorang perempuan. Umurnya mungkin sepantaran dengan ibu Rumiyem.
"Penarikan ya, Bu Fatima-" kataku saat melihat slip penarikan yang diselipkannya di buku tabungan saat nomor antreannya sudah kupanggil. "-tiga ratus ribu?"
"I-iya, Mbak." Bu Fatima menjawab dengan suara bergetar seperti ketakutan.
Apa wajahku terlihat menyeramkan hari ini? Atau nada suaraku terdengar mengintimidasi?
"Bu Fatima tidak punya kartu ATM?" aku bertanya.
"P-punya kok, Mbak." Bu Fatima masih menjawab dengan suara bergetar. Oke, mungkin isi perutnya ada gempa.
"Kenapa tidak penarikan melalui ATM saja, Bu? Penarikan di bawah lima juta ada biayanya sebesar 7.500 rupiah. Selain itu penarikan di ATM lebih mudah dan lebih cepat. Bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Tidak perlu antre. Bank Nusantara kan juga sudah online jadi kalaupun tidak ada ATM Bank Nusantara, ibu bisa melakukan penarikan melalui ATM bank lain."
Oke, sebenarnya ini lebih ke kerjaan CS sih. Tapi kalau tiap ada nasabah penarikan di bawah 5 juta teller ngomong begini mulu bisa keriting itu bibir. Yah, walaupun edukasi penggunaan ATM jadi kewajiban semua pegawai bank sih.
"Ng-nggak, Mbak. Saya ambil tunai di sini aja. Ga papa kok ada biayanya juga," masih dengan suara bergetar, Bu Fatima berkata.
Aku jadi makin penasaran sebenarnya di dalam perutnya ada apa sih sampe gempa begitu? Atau dia menggigil karena sikapku yang terkesan dingin?
"Saya tuh ga bisa make ATM, Mbak. Saya takut salah pencet. Jadi mendingan ambil uang langsung di sini aja," akhirnya Bu Fatima menerangkan sebab keengganannya melakukan penarikan di ATM.
"Oh, mari ikut saya, Bu. Saya panggilkan CS biar bisa membantu ibu melakukan transaksi di ATM," aku bersiap beranjak memanggil Rifat tapi Bu Fatima mencegahku.
"Ga usah, Mbak. Ga papa kok."
Aku tersenyum dengan isyarat aku-tak-ingin-dibantah-karena-kamu-kelak-akan-berterima-kasih-padaku-setelah-kuajarkan-hal-ini pada Bu Fatima.
"Mari, Bu. Biar ibu bisa pake kartunya dan bisa gampang kalo mau ambil atau transfer uang lewat ATM."
Aku menuju meja Rifat diikuti Bu Fatima yang patuh saja dengan kehendakku. Setelah menjelaskan duduk perkaranya pada Rifat, Rifat mengerti dan membimbing Bu Fatima menuju mesin ATM dan mengajarinya di sana.
Di hari yang lain lagi seorang bapak berumur sekitar 40an tahun mendatangiku.
"Selamat siang, Pak. Saya Samira. Ada yang bisa saya bantu?"
Si bapak tersenyum lalu menyerahkan sebuah bungkusan besar. Aku mengernyit melihat bungkusan itu. Si bapak bukan teroris kan? Ini isinya bukan bom kan?
"Nabung, Mbak." Si bapak berkata saat melihatku kebingungan dengan bungkusan plastik besar di depanku.
"Oh, i-iya, Pak-" aku jadi merasa tolol. "Buku tabungannya ada? Atau nomor rekeningnya sudah ditulis di slip penyetoran?"
Si bapak yang gantian mengerutkan dahi.
"Slip penyetoran-" aku melambaikan selembar kertas persegi panjang warna putih dengan tulisan yang dicetak dengan tinta biru tua.
"Ah-" si bapak mendesah. "-belum."
Aku menyorongkan kertas itu pada si bapak dan mempersilakannya menulis nomor rekeningnya. Setelah sekian lama si bapak tetap tak menulis apa-apa selain nama dan jumlah uangnya di slip penyetoran.
"Nomor rekeningnya, Pak?"
"Saya belum bikin tabungan di sini, Mbak, makanya saya ke sini. Sekalian mau nabung."
Astagfirullah. Aku menghela napas.
"Baik, Pak. Kalau begitu bapak silakan duduk di kursi tunggu CS ya. Untuk bisa menabung, bapak harus punya nomor rekening dulu. Pembuatan nomor rekening di meja sebelah, Pak."
"Oh, gitu ya, Mbak? Maaf-"
Aku tersenyum. "Ga papa, Pak. Silakan ditunggu. Sembari menunggu pembukaan rekening, saya hitung uangnya dulu ya, Pak."
Si bapak mengangguk dan mempersilakanku membuka bungkusan plastik besar yang tadi dibawanya. Dan betapa terkejutnya aku setelah membuka bungkusan itu karena si bapak akan menabung uang sejumlah 50 juta dalam bentuk pecahan 10 ribu, 20 ribu, dan 5 ribu serta beberapa pecahan koin 500 rupiah.
Subhanallah.
Yah, punya nasabah barbar memang menyebalkan. Tapi punya nasabah terlalu lugu juga kadang melelahkan. Tapi nasabah adalah raja. Aku cuma kacung. Kacung bisa apa?
-
A/N:
Serius. Kalo dapet nasabah yang nabung atau setoran dengan uang pecahan itu berasa kayak dapet jackpot. Ditolak ga boleh, mau diterima tapi kok pengen ngamuk karena nambahin kerjaan apalagi kalo tellernya tunggal kayak saya dulu dan uangnya masih belum rapih. 😤😤
Buat yang masih bingung kenapa penarikan di bawah 5 juta kok malah dikenai biaya, itu karena penarikan di bawah 5 juta bisa dilakukan di ATM kecuali untuk nasabah yang buta huruf. Mereka TIDAK BOLEH diberikan kartu ATM karena dianggap tidak mampu mengikuti teknologi. Ya, baca tulis aja mereka nggak bisa apalagi make ATM kan? Nah, biaya itu dikenakan biar orang-orang yang masih belum pake ATM bisa make ATM. Gunanya untuk mengurangi antrean di teller. Tapi, ya namanya nasabah. Ga semuanya pinter dan melek teknologi. Jadi kejadian kayak gini pasti ada aja sih. 😅😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
Ficción GeneralApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...