30 • Kisah Nasabah (2)

714 96 0
                                    

Sudah pernah kubilang kan kalau menjadi frontliner itu mau tak mau kadang membuatku jadi tahu isi 'dapur' orang lain? Di unit S kali ini pun, aku jadi tahu aib dua keluarga karena ada dua cerita berbeda.

Suatu hari ada seorang nasabah datang menghadapku di meja CS. Dia memperlihatkan kartu identitasnya yang kuketahui sebagai calon nasabah kredit di unitku dan sedianya dijadwalkan melakukan pencairan pinjaman di hari itu. Setelah semua berkas ditandatangani- oleh nasabah tersebut, istrinya sebagai pihak pemohon kredit kedua, dan orang tuanya sebagai penjamin- tiba-tiba datanglah seorang pria dengan penuh amarah masuk ke dalam banking hall. Pria itu menemuiku dan berkata, "mana adik saya yang tadi tanda tangan pinjaman di sini, Mbak?"

Aku yang tidak tahu duduk perkaranya dan sedang menerka apa yang terjadi dengan polos bertanya, "maaf, bapak ini siapa?"

Si pria terlihat gusar. "Saya Wahyudi, kakaknya Gunawan yang tadi tanda tangan di sini."

"Ah-" aku mengangguk. "Bapak ada perlu apa ya? Tanda tangan di berkas sudah lengkap semua kok, Pak." Ucapku polos.

"Justru itu, Mbak, masalahnya. Kalau berkas sudah selesai ditandatangan berarti pinjaman langsung bisa cair kan?"

Aku mengangguk.

"Berapa juta si Gunawan itu pinjam uang di bank?" tanyanya dengan wajah berang. Dia bertanya tanpa duduk terlebih dahulu dan aku juga tidak sempat mempersilakannya duduk karena terlalu syok dengan kedatangan pria ini yang tiba-tiba. Para nasabah yang sedang antre melihatnya dengan tatapan mencemooh. Mungkin dipikirnya pria ini tidak tahu tata krama.

"Du-dua puluh lima-"

"Brengsek!" pria itu menendang kursi di depan meja CS sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku karena aku tergagap takut. Heran, ini satpam kemana sih? Kenapa pas ada nasabah ngamuk begini dia ga nongol?

"Dia itu pake jaminan rumah orang tua kami, Mbak-"

Ya masa rumah orang tua saya, Pak?

"Rumah itu rumah buat warisan. Bapak itu sudah sepuh. Kalo misal terjadi apa-apa sama bapak, amit-amit sih ya, selama masa pinjaman itu terus bagaimana? Sementara harta warisan kan harus segera dibagi? Ini ga adil, Mbak. Kenapa harta warisan dijadikan jaminan pinjaman untuk satu orang? Padahal kami kan 5 bersaudara. Ada hak kami juga di sana."

Aku tak menjawab apapun. Aku awam soal hukum terutama mawaris. Jadi aku hanya memberi solusi berupa, " kalau begitu bapak mungkin bisa ketemu sama Mas Ranu, petugas yang menangani kredit ini. Barangkali nanti bisa dirembug sama kepala unit kami."

Fyi, Mas Ranu ini satu dari tiga marketing officer yang ada di unitku yang wajahnya paling nyeremin, jarang banget ngomong, dan paling kaku. Aku heran gimana dia dulu bisa lolos seleksi jadi pegawai di Bank Nusantara dan bukannya di bank pasar. Lah, orang dengan tampang begitu lebih cocok jadi preman pasar lah yang malakin pedagang daripada jadi pegawai bank BUMN. Dia orang yang paling aku hindari sejak pertama kali aku dipindahkan ke unit S ini. Entah kenapa hawa orang ini begitu mengintimidasiku.

"Baik. Dimana orangnya?"

Aku mengantar pria itu ke ruang belakang tempat para marketing officer bekerja. Untung Mas Ranu ada di sana sehingga aku bisa menjelaskan duduk perkaranya. Aku meninggalkan mereka bernegosiasi karena aku tidak lihai dalam hal seperti ini.

Saat aku kembali ke meja CS aku pun baru menyadari bahwa nasabah yang bernama Gunawan yang disebut-sebut pria bernama Wahyudi itu sudah menghilang sejak tadi seolah tahu gerak-geriknya diikuti oleh sang kakak dan dia sengaja menghindar.

Lihatlah, satu lagi sifat buruk manusia yang bisa kupelajari sejak bekerja menjadi frontliner. Saat di unit T aku belajar tentang boros, kali ini aku belajar tentang ketamakan. Tamak karena demi dirinya sendiri dia lupa untuk memikirkan nasib dan hak saudara-saudaranya yang lain. Tapi, nyatanya, toh orang tua mereka bersedia menandatangani perjanjian ini dan rumahnya dijadikan jaminan. Jadi- entahlah. Aku tak mau berasumsi. Aku juga tidak tertarik untuk mengikuti hasil akhir negosiasi karena aku merasa itu bukan urusanku. Sudah kubilang kan aku tidak suka mencampuri urusan orang lain.

Di hari lainnya aku juga kedatangan seorang pria. Kali ini usianya agak tua mungkin sekira 40 tahunan. Awalnya pria itu agak ragu mengutarakan niatnya menjumpaiku.

"Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku begitu melihatnya kebingungan.

"Ah, iya, anu, Mbak-" dia berpikir sejenak. "Saya mau tanya sesuatu, boleh?"

"Silakan."

"Pinjaman atas nama Mar'ati sudah lunas atau belum ya?" tanya pria itu akhirnya.

"Oh, sebentar ya, Pak, saya cek dulu." Si bapak mengangguk sementara aku mengecek buku register pinjaman.

"Sudah, Pak. Pinjaman atas nama Mar'ati sudah dilunasi dua hari yang lalu bahkan langsung ada pengambilan pinjaman lagi sebesar 99 juta," jawabku.

"Ah, ya sudah kalau begitu," si bapak tampak lega seolah baru saja melepaskan beban berat. "Masalahnya saya dulu tercatat sebagai pemohon pinjaman kedua, Mbak."

"Ya?" aku masih cengok. Terlalu pentium 1 untuk percakapan yang sudah berbasis Windows ini. Dengan kata lain, aku tidak mengerti arah pembicaraan si bapak.

"Saya dulu suami Bu Mar'ati, Mbak." Akhirnya si bapak menjelaskan. "Kami bercerai setahun yang lalu."

Jeda hening beberapa lama.

"Saya- Saya cuma mengecek apa pinjamannya sudah lunas atau belum karena saya takut terseret dalam masalah ini. Saya takut ditagih-tagih misalkan pinjaman belum lunas. Saya kan sudah ga punya hubungan apa-apa dengan Bu Mar'ati jadi harusnya saya ga menanggung apapun lagi yang berhubungan dengannya."

Ah, aku tahu yang dipermasalahkan si bapak kini. Dia hanya ingin memastikan apakah dia bisa hidup tenang tanpa dikejar hutang yang seharusnya bukan tanggung jawabnya lagi.

Selepas kepergian si bapak, aku mengadukan masalah ini pada Mas Rio yang bertanggung jawab atas kredit Bu Mar'ati.

"Oh, itu-" Mas Rio mendongak dari posisi menulisnya. Dia sedang mengerjakan entah hitungan apa. "Iya, wajar sih. Utangnya 99 juta tenor 5 tahun. Masih dibayar 3 tahunan. Sisanya masih lumayan banyak. Mungkin dia takut disuruh nanggung segitu banyak padahal udah bukan suami lagi."

Aku mengedikkan bahu. Tak tahu harus menanggapi apa. Dan memangnya harus?

"Tapi sekarang Bu Mar'ati udah nikah lagi kok," kata Mas Rio.

"Nah, itu yang bikin aku bingung pas si bapaknya bilang jadi pemohon kedua pinjaman. Kok mukanya beda sama orang yang di KTP di berkas Bu Mar'ati kemarin."

Mas Rio terkekeh. "Suami yang sekarang lebih tua. Jauh lebih tua-" Mas Rio menjeda sebentar seolah hal ini adalah hal yang paling penting. "-tapi kaya raya!"

Aku senyum. "Oh, gitu-"

"Gitu apa?" tanya Mas Rio.

"Nggak. Ga ada apa-apa. Cuma jadi mikir aja perempuan mungkin emang gitu ya. Cari yang lebih kaya demi- Yah, aku ga mau suuzon ah. Nanti jadi fitnah." Aku berlagak merisleting mulut.

"Kamu kan juga perempuan. Menurutmu gimana?" pancing Mas Rio.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Masih bertahan dengan mulut tertutup.

"Gimana?" kata Mas Rio. "Aku mau denger pendapat kamu, Mir."

"Nggak!" aku merisleting mulut lagi. "Aku udah nutup mulut. Ga bisa dibuka."

Mas Rio terkekeh dari kursinya. Dia ikut geleng-geleng kepala lalu melanjutkan menulis lagi sementara aku berlalu pergi.

-

Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang