34 • Kisah Nasabah (4)

696 89 3
                                    

"Pagi, Mbak." Seorang ibu-ibu berusia sekitar 40an tahun dengan kerudung coklat muda, baju warna biru, dan rok lebar warna merah marun mendatangiku di meja CS.

Hal pertama yang menjadi fokusku adalah warna pakaiannya. Aku yang merupakan pecinta two-tone outfit ini merasa terzalimi ketika melihat warna pakaian si ibu yang tabrak warna itu. Tabraknya parah. Ibarat kecelakaan udah masuk rumah sakit deh ini mata karena tabrakan warna yang amat kontras dan mengganggu.

"Mbak-" si ibu memanggilku lagi karena ternyata aku bengong saking syoknya melihat warna pakaian si ibu. "Mbak ga papa?"

"Eh, i-iya, Bu. Maaf. Ada yang bisa saya bantu?" akhirnya aku kembali pada kenyataan.

"Kirain mbaknya kenapa-kenapa loh. Saya kaget tadi pas mbaknya bengong. Apa ayan apa gimana."

Ebujubuneng. Ya ga ayan juga lah, Bu. Tapi syaraf mata gue emang rada kejang sih tadi gara-gara warna pakaian ibu. Kataku dalam hati.

"Boleh saya duduk, Mbak?" tanya si ibu.

"Oh, monggo, Bu. Silakan."

Aelah, canda ae si ibu. Ibu kan lagi ga bertamu di rumah orang jadi ngapain tanya begitu?

Si ibu akhirnya duduk di kursi di depan meja CS. Aku bersyukur karena hanya bisa melihat baju biru dan kerudung coklatnya dari kursiku. Meski warna keduanya tidak begitu cocok tapi mataku masih bisa memaafkan.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" aku mengulang pertanyaanku.

"Anu, gini, Mbak. Saya kan mau nabung tapi saya mau mastiin sesuatu dulu. Di bank ini dijamin simpanannya ga bakal ilang kan?"

Ilang sih, Bu, sama biaya administrasi. Apalagi kalo ga pernah diisi.

"Ilang gimana maksudnya, Bu?" aku harus memastikan definisi hilang yang dimaksud si ibu.

"Jadi gini, Mbak-"

Wah, kayaknya bakal panjang deh kalo ada kalimat pembuka begini, tebakku dalam hati.

"Saya kan dulu pernah nabung di koperasi gitu. Udah dapet 4 juta tuh eh taunya amblas aja itu uang."

"Lah, kok bisa?" aku mulai tertarik dengan cerita si ibu.

"Iya, Mbak." Si ibu yang merasa ceritanya ditanggapi dengan baik menjelaskan dengan semangat. "Soalnya yang punya koperasi itu kabur sama uang saya. Bahkan setahu saya banyak yang udah nabung di koperasi itu sampe juta-jutaan eh taunya dibawa kabur semua. Ada kali ratusan juta si orang itu bawa uang kita."

"Aduh, sayang sekali ya, Bu." Aku berempati. "Terus lapor polisi ga ibu sama nasabah-nasabah yang lain? Yang kayak gitu harus dilaporin, Bu, biar pelakunya ketangkep dan ga nyari korban lagi. Syukur-syukur uangnya bisa balik."

"Jelas lapor lah, Mbak." Si ibu makin bersemangat cerita. "Orangnya juga udah ketangkep tapi uangnya ga bisa balik." Si ibu nampak murung saat mengucapkan klausa terakhir.

Aku terdiam tapi diam-diam merasa kasihan. Aku tahu mengumpulkan uang berjuta-juta pastilah sulit. Aku saja demi mendapat gaji 7 digit harus rela jadi kacung yang dizalimi di unit S.

Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang