Bulan Ramadhan datang kembali. Aku menyambutnya dengan sukacita. Kenapa oh kenapa? Semata aku berharap bisa pulang lebih awal karena berakhirnya jam pelayanan dipangkas 30 menit dari jam pelayanan biasanya. Apalagi mulainya jam pelayanan juga diundur satu jam dari jam operasional biasanya. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?
"Kamu ga bawa bekal aja, Mir?" tanya ibu saat aku tengah merias diri di depan cermin di kamar.
"Ga usah ah, Bu. Toh, ini awal puasa kan? Biasanya kalo awal puasa itu pulangnya rada cepet," tolakku halus.
Aku berbekal pengalaman saat masih di unit T. Saat awal puasa biasanya Bu Listiana akan memintaku menyelesaikan pembukuan lebih awal agar kami bisa pulang lebih cepat dan berbuka puasa di rumah. Untungnya selama ini awal puasa tidak pernah jatuh di akhir bulan sehingga pulang lebih awal masih memungkinkan.
"Lagian kalo bawa bekel dari sekarang keburu ga enak dong makanannya. Padahal kan kalo abis puasa pengennya makan yang masih fresh." Aku membetulkan letak jilbabku di cermin.
"Ng, iya juga sih."
"Ya udah, Bu, aku berangkat dulu. Udah jam segini." Aku menunjuk jam dinding di kamarku. Jarum panjang di angka 12 sedangkan jarum pendek di angka 8.
"Bener ga papa ya, Mir?" Ibu terlihat cemas.
Aku menyetarter motor. "Ga papa, Bu. Insya Allah. Doain aja beneran aku bisa pulang sebelum magrib biar bisa buka di rumah."
Ibu mengucap 'aamiin' dengan gerak mulut. Aku mencium tangan ibu.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Akupun melajukan motor dengan kecepatan sedang dengan hati riang. Pulang gasik pulang gasik, nyanyiku dalam hati.
Jam demi jam berlalu. Meski lelah, haus, dan lapar aku tetap bersemangat karena punya harapan besar akan pulang lebih awal hari ini. Namun, hatiku makin cemas manakala jarum pendek sudah berhenti di angka 5 dan Pak Sur masih belum ada tanda-tanda mempersilakan pulang padahal aku sudah mencocokkan jumlah kas sejak sejam yang lalu. Berkali-kali kutengok ruang kaunit yang hanya disekat dinding kaca di belakang ruang teller. Pak Sur masih bersantai membuka-buka pesan di ponselnya dan tidak tampak ada keinginan untuk mencetak transaksi hari ini agar aku bisa segera tutup kas dan pulang.
Omong-omong aku kembali menjadi teller setelah Nisa lolos ujian sebagai marketing officer dan mengikuti pendidikan. Namun, posisi CS masih belum diisi oleh siapapun sehingga untuk sementara Dion yang berwenang. Lihatlah wajah songongnya itu. Berkali lipat jumawanya seolah ingin berkata aku-yang-berkuasa-di-sini-sekarang-meski-aku-cuma-lulusan-SMA. Sudah pernah kubilang kan kalau admin KUR itu bisa mendaftar dengan ijazah SMA saja? Nah, selain Aya, Dion juga menjadi admin KUR yang mendaftar dengan ijazah SMA. Mas Agum pernah mengompori Dion untuk kuliah agar bisa dapat posisi yang lebih baik tapi bocah itu menolaknya. Alasannya sudah tidak ada waktu karena dari Senin-Jumat dia sudah lelah bekerja di Bank Nusantara. Sabtu dan Minggu ingin dia gunakan untuk bersantai. Hhh, dia belum mikir bagaimana kalau suatu saat nanti didepak dari Bank Nusantara.
Ini orang-orang di sini pada ga punya rumah dan keluarga apa ya kok ga ada yang tergerak pengen pulang?
Kulihat Dion juga masih asyik mengerjakan entah apa. Para marketing officer juga masih asyik mengutak-atik sesuatu di komputer. Aku menerima BBM dari ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
Fiksi UmumApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...