Kalau Pak Chairul, supervisor kantor kas, didatangi tamu orang dari kantor cabang, entah kenapa aku selalu curiga. Pasalnya tiap mengobrol, mereka selalu melihat ke arahku yang sedang melakukan pelayanan. Bagaimana aku tidak curiga coba? Apakah jangan-jangan mereka sedang melakukan penilaian terhadapku? Apa Pak Chairul sedang diinterogasi tentang kinerjaku? Apa Pak Chairul sedang berkomplot dengan orang cabang untuk memutasiku lagi ke unit kerja paling pelosok? Hingga akhirnya tanda tanya dalam hatiku selama ini terjawab.
"Kamu itu adeknya Hendi Pramudya?" tanya Pak Chairul tiba-tiba saat aku sedang tidak melayani nasabah.
"Adek ipar, Pak," ralatku.
"Oh, bukan adek kandung ya?"
"Bukan," jawabku sok kalem.
Kenapa tiba-tiba tanya beginian sih? Kan bikin deg-deg serr. Apa Mas Hendi bikin masalah di kantor dan berdampak padaku?
"Hendi itu kerjanya bagus," puji Pak Chairul. Aku mengernyit. Menerka kemana arah pembicaraan Pak Chairul bermuara. Tapi gagal. Aku clueless.
"Oh, iya ya, Pak?" tanyaku bego.
Terus hubungannya sama gue apa elah?
"Iya. Sekarang dia direkomendasikan jadi kepala unit. Kalo dia lolos seleksi bisa jadi kepala unit nanti. Lama-lama mungkin jadi supervisor cabang dan seterusnya," lanjut Pak Chairul.
Oke. Aku semakin ga ngerti kemana arah basa-basi ini. Kalo mau muji Mas Hendi kenapa di depanku? Biar aku nyampein ke orangnya dan bikin Mas Hendi besar kepala?
"Oh, gitu ya, Pak?" Aku menyahut meski tidak tahu harus menyahut dengan kata-kata apa lagi. Mau pura-pura sibuk ketik-ketik di hp agar pembicaraan absurd ini segera berakhir tapi kok sepertinya tidak sopan ya?
"Iya. Lah, kamu ga ada cita-cita pengen terus di sini emangnya?" tanya Pak Chairul out of the blue banget.
Hah? Maksudnya?
"Hah?" Aku spontan berteriak. Tak ayal Pak Chairul sedikit kaget.
"Eh, m-maap, Pak. Sa-saya kaget. Saya bingung sama pertanyaan bapak. Maksudnya gimana ya, Pak?"
Pak Chairul yang wajahnya memang wise— ditambah dengan jenggot-jenggot halus yang memutih dan kacamata itu— tersenyum meneduhkan. Aku jadi teringat sosok Morgan Freeman. Bedanya Pak Chairul tidak berkulit hitam.
"Jadi begini, Dek Mira. Saya itu sering dapet aduan kalo pelayanan Dek Mira itu bagus karena cepat dan akurat."
Weiitss. Idung gue mekar mesti nih. Kalo mau muji bilang kek dari tadi biar aku ga deg-deg serr.
"Tapi ..."
Eanjir ada tapinya. Ga enak nih naga-naganya.
"Banyak yang bilang juga kalo Dek Mira jarang senyum sama nasabah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
General FictionApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...