28 • Tipe Tipe Nasabah: Yang Rese

711 94 0
                                    

Semua orang pasti tidak suka diganggu privasinya. Termasuk aku. Aku juga tidak suka kalau privasiku diganggu terutama saat bekerja. Apa yang ada di mejaku, meja teller, itu adalah milikku. Maksudku, jangan pernah mencampuri apapun di sana. Jangankan mencampuri, melongok mejaku pun aku benci. Tapi yang kuingat ada satu nasabah yang menurutku kurang ajar.

"Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu, Pak?" Tanyaku pada seorang mas-mas yang usianya mungkin tidak terpaut jauh denganku. Namun karena aturan dari Bank Nusantara yang hanya membolehkan para pegawai memanggil bapak atau ibu serta adik kepada nasabah, aku memanggilnya dengan panggilan pak.

"Aduh, jangan dipanggil pak dong, Mbak," protesnya. "Saya masih muda lho. Belum nikah juga. Apalagi punya anak. Belum pantes dong dipanggil pak wong belum bapak-bapak," katanya sambil senyum centil.

Lah, status lo bukan urusan gue. Batinku. Lo mau jomblo kek, kawin kek, nungging kek, ONS-an kek, urusan lo.

"Baik. Ada yang bisa dibantu?" Tanyaku kembali tanpa menggunakan embel-embel sebutan apapun.

"Saya mau setoran pinjaman," katanya seraya menyerahkan selembar slip setoran dan sejumlah uang. "Punya bapak," katanya lagi seraya memberikan selembar slip penyetoran dan sejumlah uang padaku. Ah, sudah jelas nomor rekeningnya bukan miliknya karena namanya seperti nama bapak-bapak. Kan tadi dia bilang dia bukan bapak-bapak. Mungkin namanya lebih mirip nama ibu-ibu.

"Oh, baik. Ditunggu sebentar ya." Kataku penuh dengan senyum palsu. Jujur aku paling males ketemu nasabah model begini. Sok kenal sok deket tapi nggak asik. Apalagi yang kali ini nggak ganteng. Duh!

Sialnya entah kenapa tiba-tiba saja koneksi internet lemot banget. Ya, si SanTets emang sering banget lemot sih. Aku sampai gemas dibuatnya. Aku mengklik tetikus berkali-kali atau me-refresh layar tanpa henti yang justru membuat koneksi semakin lemot. Tapi nasabah yang lagi transaksi biasanya akan mundur untuk duduk di kursi yang ada di banking hall- tidak ada kursi di depan meja teller- karena malas berdiri terlalu lama di depan meja teller. Jadi setidaknya aku bisa memanfaatkan waktu itu untuk membuka ponsel dan membalas BBM yang belum kubaca atau sudah kubaca tapi belum sempat kubalas. Kalau nasabahnya ganteng sih biasanya kugunakan untuk diam-diam memperhatikannya tanpa perlu takut ketahuan. Tapi- seperti yang sudah kubilang sebelumnya- momen seperti itu tentu langka. Selangka stok cowok ganteng yang sudi mampir ke unitku.

Sialnya lagi nasabah ini dengan lancangnya menjulurkan tubuhnya yang tinggi menjulang ke depan meja teller melewati batas yang biasanya mampu dijangkau orang-orang. Meja teller biasanya setinggi dada orang dewasa. Manusia dengan tinggi rata-rata tidak ada yang bisa mengintip apa yang sedang kulakukan di bawah meja teller karena meja yang cukup tinggi menghalangi jarak pandang orang-orang.

"Kok lama banget sih, Mbak?" Tanyanya sambil kepo melihat apa yang sedang kulakukan. "Hayo, mbaknya ternyata lagi mainan hape ya?"

Sialan. Pria itu mengintip aktivitasku di bawah meja teller dan menangkap basah aku yang sedang membuka ponsel. Wajahnya menyeringai seolah baru saja berhasil menemukan sesuatu yang menyenangkan.

"Mbak, emang boleh mbak maenan hape pas lagi kerja?" Dia masih saja berisik. Aku tak menyahut karena malas.

"Jangan-jangan dari tadi lama karena mbaknya main hape ya?" Tuduhnya.

"Koneksi internetnya emang lama, Pak. Sedang ada perbaikan," dustaku. Well, sebenarnya nggak dusta juga sih karena koneksinya emang sedang lemot. Tapi aku memang bohong soal perbaikannya karena nggak mungkin aku terus terang bilang "koneksi internet di Bank Nusantara jelek, Pak, jadi silakan pindahkan rekening Anda ke bank lain saja setelah ini agar transaksinya cepat" pada mas-mas itu. Mencoreng harga diri Bank Nusantara dong.

"Ah, masa sih?" Pria itu malah berusaha menjulurkan kepalanya lebih jauh lagi ke meja teller. Membuatku semakin risih. Hey, ini orang ada otaknya nggak sih? Kok nggak punya adab banget?

Beruntung sebelum mas-mas sialan itu berhasil mengintip lebih banyak apa yang ada di bawah meja teller, transaksi telah berhasil dilakukan. Aku mendesah lega. Aku segera mengecek dan menandatangani slip penyetoran lalu menyerahkannya pada si nasabah rese.

"Terima kasih, Pak. Ada lagi yang bisa dibantu?" Tanyaku basa-basi, berharap dia takkan bertele-tele lagi untuk memperlama keberadaannya di sini dan menyiksaku dengan kedongkolan yang harus kupendam atas nama pelayanan.

Pria itu berpikir sejenak dan mengedarkan pandangan ke sekeliling seolah mencari sesuatu. "Di sini nggak ada stiker yang- Ah, ini dia!" Pria itu mendekati dinding yang ada di dekat meja teller dan membaca tulisan yang tertera di stiker yang ditempel di atasnya.

"Layanan konsumen hubungi-" Dia mengetik sesuatu di ponselnya. Kemudian dia juga memotret tulisan di stiker itu. Apa yang dilakukannya memicu keingintahuan nasabah-nasabah lain yang duduk menunggu di banking hall.

"Terima kasih, Mbak." Katanya dengan seringai menyebalkan. Entah kenapa perasaanku jadi tak enak.

"Itu tadi ngapain sih, Mbak? Motret-motret segala. Nggak tau adat." Kata seorang ibu-ibu yang maju ke meja teller setelah kupanggil nomor antrean berikutnya. "Bikin lama. Gayanya tengil bener. Songong." Maki si ibu sambil bersungut-sungut. Dalam hati aku menyetujui perkataan si ibu.

"Nggak tau siapa, Bu. Bukan nasabah sini kok."

"Oh, pantes. Mungkin bukan orang sekitar sini juga ya. Nggak pernah liat mukanya saya."

Aku tak menanggapi lebih lanjut karena fokus pada transaksinya. Tapi hatiku dilanda perasaan tak nyaman yang tak bisa kujelaskan. Aneh, perasaan apa ini? Semoga bukan firasat buruk.

Keesokan harinya Bu Listiana memanggilku ke ruangannya beberapa saat sebelum jam pelayanan dimulai. Hari itu aku kebetulan lagi in time. Lagi kesambet pengen berangkat pagi.

"Berita buruk, Dek Mira." Bu Listiana mengatakan itu sambil memijit pelipisnya. Baru sepagi ini kenapa mukanya udah sepet banget? Gajian nggak diundur kan?

"Nama unit kita disebut di layanan konsumen dan udah disebar di grup cabang."

"Oh-" aku bingung harus menanggapi apa karena kupikir ini tak ada sangkut pautnya denganku secara pribadi.

"Dan yang dikritik Dek Mira."

"Eh eh," aku gagal menyelamatkan ponselku yang meluncur bebas ke lantai dan membuat penutup baterainya lepas. Aku memungut ponselku. Untung saja cuma penutup baterai yang lepas. Tapi, tidak, jantungku juga sebenarnya hampir lepas. Apa? Aku dikritik? Siapa yang berani mengkritikku hah?

"Pelayanan lambat, tidak murah senyum, bahkan bermain ponsel saat bekerja." Bu Listiana memijat pangkal hidungnya kali ini. "Itu isi keluhannya."

Oh, aku tahu sekarang. Nasabah rese yang nggak mau dipanggil pak kemarin. Sudah pasti! Tak perlu diragukan lagi.

Bu Listiana mendesah. Raut wajahnya terlihat cemas. "Saya tau selama ini Dek Mira sering main hape saat pelayanan. Saya tidak pernah menegur, memang, karena toh selama ini pekerjaan Dek Mira baik-baik saja. Tapi kali ini di luar dugaan. Mungkin saja dia semacam mystery shopper-"

"Tapi ini nggak lagi penilaian kan, Bu?" Tanyaku terkejut.

Oh ya, mystery shopper adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang dari kantor wilayah yang disamarkan menjadi nasabah untuk menilai pelayanan pegawai. Tapi biasanya jadwal penilaian itu sudah disebar di unit-unit oleh kantor cabang sehingga para frontliner bisa bersiap.

Bu Listiana mengedikkan bahu. "Saya bilang mungkin. Tapi intinya ini akan jadi berita buruk untuk Dek Mira."

Aku menunggu bom itu jatuh.

"Bersiaplah dimutasi. Lebih jauh lagi."

Aku langsung terduduk lemas di kursi begitu sampai di meja teller. Tidak, tidak, tidak. Unit ini saja sudah cukup jauh dari rumahku lalu bagaimana kalau aku dipindah ke unit yang lebih jauh lagi? Bila manusia hidup punya takdir yang disebut mati, maka kacung punya takdir yang disebut SK mutasi.

-

Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang