Hari ini aku sedikit bahagia karena bisa terbebas dari hawa iblis di unitku lebih awal karena ada sosialisasi di kantor cabang. Ada pengenalan aplikasi baru dari Bank Nusantara terkait dengan pelayanan sehingga kami- para frontliner- harus diberi sosialisasi.
"Aaakkkk, Mbak Mira!" Aya yang pertama kali melihatku menyapaku dengan heboh di tempat parkir. "Aku kangen!" Dia memelukku erat.
"Aku juga," aku balas memeluknya erat dan agak sedikit menggoyangkan pelukan sehingga kami terlihat seperti Tinky Winky dan Dipsy berpelukan.
"Ga sama Detta?" tanyaku karena heran Aya datang sendiri.
"Bareng kok. Tuh dia."
"Mbak Miraaaaaa..." Detta sudah menyongsongku dengan pelukan. "Kangeeeennn..."
"Kita kangen makan sempolan sambil dengerin MP3 bertiga," kata Detta yang menyeret aku dan Aya dalam pelukan lagi. Kami jadi tampak seperti Tinky Winky, Dipsy, dan Lala berpelukan minus Poo.
"Masuk yuk," aku menggamit lengan Aya dan Detta di kanan dan kiri. Kami pun akhirnya masuk ke dalam banking hall, tempat dilaksanakannya sosialisasi. Kami segera menempatkan diri di barisan ketiga dari depan sebelum banking hall ramai oleh frontliner yang lain. Setelah kurang lebih sepuluh menit kami menunggu, acara sosialisasi dimulai. Di sela-sela penjelasan Mbak Dian dari bagian pelayanan, Mbak Sofi rupanya datang terlambat dan menempatkan diri di kursi persis di belakangku.
"Kok telat, Mbak?" tanyaku setengah berbisik kepadanya.
"Biasalah. SanTets eror mulu. Padahal pencairan banyak banget hari ini. Gimana unit baru?"
Ah ya, sejak aku sering curhat pada Mbak Sofi dan memplesetkan nama SanNets dengan SanTets, dia jadi ikut menggunakan nama itu juga sebagai olok-olok karena sebagai sesama pejuang garis depan Bank Nusantara, kami sama-sama merasakan kelemotan SanNets.
"Unit neraka," jawabku sambil memutar bola mata.
"Kok bisa?" katanya.
"Manusianya pada ga asik, Mbak."
Mbak Sofi terkekeh. Kami akhirnya fokus pada penjelasan Mbak Dian dan menghentikan obrolan kami sejenak.
"Eh, sekarang yang gantiin kamu siapa, Mir?" tanya Mbak Sofi padaku setelah sosialisasi selesai. Aku malah mengangkat bahu.
"Tanya sama Detta dan Aya aja tuh, Mbak. Kan mereka yang masih di unit T." Aku menunjuk mereka berdua di sebelahku.
Detta yang menoleh lebih dulu karena Aya sedang sibuk mengobrol dengan frontliner lain.
"Gantinya Mbak Mira itu Mbak Widia, Mbak," jawab Detta.
"Widia yang dari unit BK itu?" tanya Mbak Sofi yang dibalas anggukan Detta. "Mujur bener itu orang."
"Mujur kenapa?" tanyaku dan Detta hampir bersamaan.
"Dia itu udah 4 tahun ditempatin di unit BK, ga pernah pindah-pindah. Dan jadi teller mulu, ga pernah jadi CS. Aku pas awal-awal kerja di Bank Nusantara pernah loh jadi CS. Untungnya ga lama. Terus sampe sekarang jadi teller. Sekarang Mira juga jadi CS. Nah, Widia ini nggak. Dia ajeg aja dari dulu gitu. Mana pindahnya ga pernah jauh-jauh dari rumah. Rumahnya kan palingan lima belas menit kalo dari unit T. Pas dia di unit BK palingan cuma sepuluh menit dari rumahnya," terang Mbak Sofi.
Aku manggut-manggut.
"Apa punya orang dalem mungkin?" terkaku setengah suuzon.
Sudah bukan rahasia lagi jika praktik nepotisme dalam dunia kerja di Bank Nusantara benar-benar ada. Banyak dari temanku yang merupakan "titipan" dari pegawai yang masih aktif maupun yang sudah pensiun misalnya kaunit. Beberapa yang merupakan pegawai "titipan" itu beruntung nasibnya karena jarang dimutasi hingga ke unit yang jauh. Bahkan ada yang seolah imun dengan mutasi dan hanya ditempatkan di satu unit yang sama selama dia bekerja. Unitnya pun tentu masih di kota yang relatif dekat dengan keramaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
Fiction généraleApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...