Aku bangun pagi hari ini dengan perasaan tidak nyaman lagi. Seperti pagi-pagi yang biasanya. Iya, banyak yang tidak tahu bahwa sebenarnya sejak aku dimutasi ke unit S aku nyaris tak pernah bangun pagi dengan perasaan bahagia. Apa itu quote orang-orang bijak yang berkata mulailah harimu dengan senyum dan positive thinking? It's a bullshit! Aku selalu saja bangun pagi dengan mengeluhkan hal yang sama: kenapa ini masih hari kerja dan bukannya hari libur, kenapa juga hari kerja ada 5 hari sementara hari libur cuma ada 2 hari, dan kenapa takdir harus membawaku ke neraka dunia bernama unit S ini?
"Kamu kok lemes amat, Mir?" tanya ibu saat melihatku sarapan di depan TV dengan tatapan enggan ke arah layar berukuran 21 inch itu.
Ah ya, keluargaku tidak punya tradisi makan di meja makan karena kami tidak sebegitu dekatnya sehingga kami tidak pernah mengobrol intim saat makan yang biasanya dilakukan oleh keluarga-keluarga yang lain. Aku lebih suka menyimpan apapun untuk diriku sendiri. Aku tidak pernah merasa nyaman curhat dengan ibuku apalagi ayahku. Paling mentok aku seringnya curhat ke Mbak Anjani. Lagipula jadwal makan kami berbeda-beda. Aku yang selalu sarapan paling pagi karena harus bekerja dan perjalanan yang kuhabiskan menuju tempat kerja cukup menghabiskan waktu sehingga membuatku mau tak mau bersiap-siap sedari pagi. Ayah dan ibu biasanya punya jadwal sarapan yang hampir bersamaan. Tapi karena- kembali lagi- kami tak punya tradisi makan bersama di meja makan, ayah dan ibu tak pernah sekalipun duduk bersama untuk makan berdua. Aku biasanya lebih senang sarapan di depan TV seperti sekarang sambil menonton Islam Itu Indah atau Insert, dua tayangan TV yang sering ditonton ibu di pagi hari.
"Kamu sakit?" tanya ibu lagi karena tak kunjung mendapat sahutan dariku.
"Hng, nggak, Bu. Ga papa." Aku malah menggigit kerupuk dan mengunyahnya hingga berbunyi krauk krauk berisik demi mengalihkan perhatian ibu dari topik pembicaraan ini.
"Kalo sakit mending ijin aja, Mir, daripada kamu kenapa-kenapa di jalan. Perjalanan kamu kan lumayan jauh. Mana isinya nyalip kendaraan-kendaraan gede. Apalagi kalo malem. Ibu khawatir."
"Ga papa kok, Bu. Aku ga sakit kok," tukasku. Dan nyatanya aku memang tidak apa-apa. Secara fisik. Aku merasa sakit secara batin dan pikiran. Aku lelah. Tapi aku tak pernah mengucapkannya secara terus terang pada ibu.
"Syukur deh kalo kamu ga sakit. Hati-hati ya berangkatnya. Ini bekalnya." Ibu berkata sebelum aku berangkat sambil menyodorkan satu set makan Tupperware berwarna ungu yang sudah diisi bermacam-macam lauk pauk. Aku tak pernah berniat membuka apa isinya sebelum berangkat. Bagiku itu berguna untuk menjaga perasaan ibu. Aku tak mau ibu kecewa karena melihatku tak suka dengan makanan yang dia buatkan bila aku membukanya lebih dulu.
"Assalamu'alaikum," aku berpamitan dengan mencium tangan ibu.
"Wa'alaikum salam," jawab ibu seperti biasa.
Sudah berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan perasaan ini menggangguku. Perasaan tak nyaman ini. Perasaan tak bahagia ini. Aku selalu menyimpan perasaan itu sendirian. Aku selalu berusaha menganggap ini bukan masalah besar. Nyatanya mensugesti diri sendiri itu jauh lebih sulit daripada mensugesti orang lain. Aku pikir tadinya aku akan terbiasa menghadapi atmosfer kerja di unit S tapi ternyata sampai menjelang kontrak kerjaku selesai, aku masih kesulitan menyesuaikan diri.
"Kamu kenapa sih akhir-akhir ini kerja ga beres terus?" tanya Pak Sur pagi itu. Aku tahu dia pasti akan menegurku karena beberapa hari belakangan aku sering kehilangan konsentrasi saat bekerja.
Tempo hari saja aku sempat nombok delapan ratus ribu rupiah. Untungnya uang itu kembali. Ada seorang nasabah kredit yang kelebihan menerima uang saat pencairan karena aku sudah membuku transaksi biaya-biaya administrasi pencairan kredit tapi uang pencairannya tidak kupotong. Alhasil aku jadi nombok. Beruntung nasabah- yang kebetulan nasabah Mas Rio- itu jujur dan rela mengembalikan uang lebih itu padaku.
"Ga papa, Pak." Aku tertunduk. Bukan takut. Aku sudah telanjur malas menanggapi pertanyaan Pak Sur karena malas bersitatap dengannya. Benciku pada Pak Sur sudah mendarah daging jadi bukannya marah-marah yang kulakukan padanya melainkan mengabaikan setiap kata-katanya. Aku tak suka melakukan konfrontasi pada orang yang tak kusuka. Aku lebih baik cuek. Dan itu yang kulakukan pada kaunitku itu.
"Lain kali kerja yang beres dong. Jangan hilang fokus. Kita jadi pulang malem terus kan akhirnya."
Apa? Dia menyalahkanku karena pulang malam? Dia sudah amnesia gara-gara siapa aku sering pulang malam kemarin-kemarin? Haruskah aku marah-marah juga untuk mengingatkannya?
"Ini, Mbak, supervisinya." Dion menyerahkan selembar kertas berisi transaksi supervisi padaku.
Sebagai informasi, transaksi supervisi adalah transaksi yang hanya dilakukan tiap akhir bulan. Isinya adalah biaya-biaya yang dihabiskan oleh unit dalam sebulan.
Omong-omong, berkebalikan dengan Pak Sur yang makin menjadi tokoh antagonis dalam cerita hidupku, Dion justru bersikap agak melunak sejak aku menjadi teller. Mungkin karena dia tidak bisa lagi merasa jumawa menjadi satu-satunya yang tau soal per-CS-an. Tapi aku juga sudah telanjur antipati padanya sehingga bagiku sikapnya tak ada bedanya. Intinya aku ingin segera lepas dari unit ini.
"Taro aja di situ," aku mengedik ke arah meja teller sebagai kode pada Dion agar dia meletakkan kertasnya di sana. Dia patuh. Lalu dia segera kembali ke kursinya tanpa komentar apa-apa lagi.
Bulan depan. Kontrak kerjaku habis bulan depan. Aku menunggu-nunggu saat itu sejak pertama kali aku dimutasi ke unit S. Tapi entah kenapa begitu saat itu nyaris datang, aku justru cemas. Apakah aku memang harus resign? Apakah keputusan itu benar? Haruskah aku bersabar sebentar lagi? Begitu banyak pertimbangan-pertimbangan yang mampir dalam kepalaku.
Aku merebahkan diri di atas kasurku begitu aku sudah sampai rumah. Ya Allah, aku harus bagaimana?
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
Fiksi UmumApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...