Aku sebenarnya tidak ingin ikut campur atau mau tahu urusan dapur orang. Tapi jadi seorang frontliner kadang membuatku jadi tahu masalah apa yang membelit seseorang bahkan aib apa yang ada di keluarga seseorang. Ini terjadi di suatu sore. Dua orang nasabah- seorang pria dan seorang wanita- datang tergopoh-gopoh ke unitku. Saat itu pukul 15.30. Pelayanan kas sudah tutup tapi pelayanan nasabah masih 30 menit lagi.
"Mas," panggil si wanita pada Rifat yang lagi-lagi sedang asyik mengisi buku register. Lama-lama aku curiga dia lebih nyaman pacaran sama buku register daripada sama cewek.
Rifat mendongak, "iya, Bu Wiri, ada yang bisa dibantu?" sepertinya Rifat kenal dengan nasabah wanita itu.
"Anu, ini saya mau anterin tetangga saya. Namanya Pak Ahmad," si wanita menyenggol lengan Pak Ahmad lalu berkata bisik-bisik dalam bahasa Jawa. "Kae jare sampean mau arep takon. Arep takon apa?" [Tuh, katanya kamu mau tanya. Mau tanya apa?]
"Oh, iya. Baru dua minggu yang lalu kan bapak buka rekening di sini?"
Aku nyaris tepuk tangan pada ingatan Rifat yang hebat. Dia hapal semua nasabah di sini. Sementara aku jongkok banget masalah hapal menghapal padahal mantan anak IPS. Yang kuhapal hanya kenangan pahit saat mantanku menduakanku jaman kuliah dulu.
Pak Ahmad lalu menyerahkan sebuah buku tabungan, yang sepertinya miliknya, pada Rifat. "Anu, nyuwun dicek mawon, Mas," begitu katanya. [Ngg, minta dicek aja, Mas.]
"Nggih, Pak." [Ya, Pak.] Lalu dengan cekatan, Rifat mencetak transaksi buku tabungan tersebut.
"Monggo." [Silakan.] Rifat menyerahkan buku tabungan itu kembali pada pemiliknya.
"Turah pira, Yu?" [Sisa berapa, Mbak?] tanya Pak Ahmad pada si wanita yang sudah duduk di sebelahnya. Si wanita mengambil buku tabungan itu dari tangan Pak Ahmad dan membaca angka-angka yang tertera di atasnya.
"Lha kok gari limangatus ewu?" [Lha kok tinggal lima ratus ribu?] si wanita tampak terkejut setelah melihat saldo akhir di buku tabungan.
"Limangatus?" [Lima ratus?] Pak Ahmad tak kalah terkejut. "Lha, aku ora tau njupuk kok. Aku pertama nabung patang juta, let pirang dina kae nabung maneh telung juta. Terus let ora suwi aku nabung maneh limang juta. Lha kok saiki gari limangatus ewu? Kudune kan-" [Lha, aku ga pernah ambil kok. Aku pertama nabung 4 juta, selang berapa hari tuh nabung lagi 3 juga. Terus selang ga lama aku nabung lagi 5 juta. Lha kok sekarang tinggal lima ratus ribu? Harusnya kan-] Pak Ahmad menghitung dulu.
"Rolas juta, Mad," [Dua belas juta, Mad.] si wanita menyahut tak sabar. Pak Ahmad mengangguk-angguk. "Sek sek tak takonke wae karo mase. [Sebentar sebentar aku tanyain aja ke masnya] Mas, ini gimana kok bisa ilang sendiri uangnya?" si wanita akhirnya beralih kembali pada Rifat yang memperhatikan mereka sedari tadi. Aku sendiri sibuk menghitung kas teller tapi tetap tak melewatkan kejadian seru ini. Kebetulan meja teller dan meja CS tidak terpisah jauh. Apalagi keadaan banking hall sepi waktu itu sehingga aku masih bisa mendengar percakapan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
Ficção GeralApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...