Ada satu tipe nasabah yang menurutku sangat misterius. Bukan orangnya sih tapi duitnya. Seperti nasabahku yang satu ini. Namanya Pak Jamal.
"Selamat siang, Pak. Ada yang bisa dibantu?" Tanyaku dengan senyum ramah. Pak Jamal bukan tipe nasabah yang suka ribet sehingga melayaninya terasa sangat menyenangkan.
"Ah iya, Mbak. Minta tolong dicek dulu." Dia menyodorkan sebuah buku tabungan padaku. Aku mengangguk. Aku paham maksudnya. Dia memintaku mencetak buku tabungannya untuk melihat adakah transaksi kredit di rekeningnya.
"Ah, belum masuk ya, Mbak?" Katanya lirih setelah aku mengangsurkan buku tabungannya kembali.
"Ah, i-iya mungkin, Pak."
Lah, mana aku tahu akan ada uang masuk atau tidak. Kan bukan aku yang punya rekening. Yang kutahu Pak Jamal ini tidak pernah sekalipun datang ke unit untuk penyetoran. Namun, anehnya, rekeningnya selalu penuh terisi dengan uang puluhan juta rupiah setiap harinya. Anehnya lagi, dia selalu menarik uang itu juga di hari yang sama. Semuanya. Kadang aku jadi bertanya-tanya apa gerangan pekerjaan orang ini. Kayaknya enak banget gitu hidupnya. Mungkin dia punya tips ngepet yang baik. Mungkin aku bisa niru biar cepet kaya. Biar nggak jadi kacung yang kerja lebih dari 12 jam sehari tapi gaji segitu-gitu aja.
Selain Pak Jamal, ada pula Pak Mustakim. Dia juga salah satu nasabah dengan duit gaib. Tak pernah sekalipun dia datang ke unitku untuk setoran tabungan tapi tau-tau rekeningnya sudah penuh dengan sejumlah uang. Dia datang ke unitku hanya untuk penarikan atau setoran pinjaman.
Pak Sayid juga membuat daftar nasabah di unitku dengan duit gaib semakin panjang. Seolah unitku ini semacam unit mistis karena nasabahnya bisa punya uang tanpa harus bekerja. Waktu itu online shop belum sebesar sekarang. Meski sudah ada beberapa orang yang mulai berbisnis online dengan berjualan barang secara mandiri maupun MLM, jumlahnya belum sebanyak sekarang. Oleh sebab itu aku heran kenapa mereka bisa punya uang dengan mudah. Lihat saja Pak Sayid. Nyaris tiap hari dia datang ke kantorku untuk penarikan sejumlah besar uang dan mengobrol dengan Bu Listiana ngalor-ngidul setelahnya seolah tidak punya pekerjaan yang harus diselesaikan.
Namun, yang membuatku salut, meski mereka tergolong nasabah yang cukup berduit nyatanya penampilan mereka tidak berlebihan. Ponsel yang mereka pakai juga bukan ponsel keluaran terbaru yang bisa BBM, Whatsapp, LINE, atau apalah itu yang kekinian. Ponsel mereka cukup Nokia keluaran lama yang penting ada pulsa demi berkomunikasi dengan lancar. Maklum sepertinya mereka bukan tipe orang yang suka bertele-tele berkirim pesan. Bahkan pernah sekali Pak Sayid membawa istrinya ke unitku. Penampilan istrinya pun terbilang sederhana untuk ukuran istri orang berpunya. Padahal usianya tergolong muda. Pak Sayid saja sebenarnya hanya selisih dua tahun di atasku. Mungkin istrinya terpaut dua atau bahkan tiga tahun di bawahku. Tidak seperti kebanyakan orang kaya yang seringnya berpenampilan serba wah agar dipandang orang mentereng, mereka justru santai mengenakan celana kargo pendek dengan kaos yang banyak dijual di pasar.
"Mau penarikan, Mbak." Pak Sayid berkata dengan gaya santainya. Dia tipe orang yang slengekan kalau bisa kubilang.
"Dua puluh lima juta dulu aja deh," katanya seraya menyerahkan buku tabungannya dan slip penarikan.
"Baik. Silakan ditunggu sebentar ya, Pak." Aku pun mulai memproses transaksinya dengan khusyuk.
"Biasa, Mbak. Istri minta beliin tas baru. Kalo udah deket mau Lebaran begini pasti wajib beliin baju, tas, sandal buat istri dan anak." Pak Sayid terkekeh.
"Wah, bagus dong, Pak. Sayang anak istri," pujiku tanpa bermaksud menggoda. Demi Allah, aku nggak berniat jadi pelakor kok.
"Itu duit bisnis sebenarnya, Mbak, malah dipalak duluan sama istri." Dia mengatakannya dengan berbisik seolah takut ketahuan istrinya yang berdiri tak jauh dari meja teller bersama anak perempuannya yang berusia sekitar 5 tahunan. Sempat aku berpikir bahwa dia benar-benar serius mengatakan itu. Namun, setelah melihatnya tertawa, aku jadi ikut tertawa.
"Jangan serius-serius, Mbak, nanti pusing." Guraunya.
"Kirain beneran sih, Pak."
"Enak ya, Pak, kalo jadi istri bapak kalo pengen beli apa-apa tinggal bilang aja. Pasti dikasih."
"Mbak mau jadi istri kedua saya?"
Mampus! Ini kenapa dia salah menerima perkataanku dan diartikan lain?
Aku nyengir bego. Menggaruk leher karena bingung mau menanggapi bagaimana. Saya nggak ada cita-cita jadi pelakor, Pak.
"Becanda lagi, Mbak. Bisa disunat dua kali saya nanti." Pak Sayid tertawa dengan suara menggelegar hingga menimbulkan tanya di benak para nasabah lain yang menunggu di banking hall. Hal itu malah membuatku kikuk.
"Kirain beneran loh, Pak. Saya kaget."
Usut punya usut ternyata mereka yang seolah punya duit gaib itu biasanya punya bisnis di bidang perkapalan atau perikanan. Sudah pernah kuceritakan sebelumnya kan kalau unitku bekerja dekat dengan komunitas nelayan? Nah, biasanya orang-orang yang berduit ini dapat uang dari hasil membuat kapal atau menyediakan perbekalan kapal seperti bahan bakar, tambang, jala, dan sebagainya. Hasil dari usaha ini tidak main-main. Omset dalam sekali pembuatan kapal dan perbekalannya saja bisa di kisaran puluhan juta bahkan ratusan tergantung dari besar kecilnya kapal. Namun, biaya yang diperlukan juga bisa sampai milyaran. Pernah aku mengobrol sedikit dengan Bu Lasmi yang juragan kapal itu. Dia berkata bahwa biaya untuk pembuatan kapal kecil minimal 400 juta hanya untuk pembelian kayunya saja. Kalau untuk kapal yang lebih besar bisa 1 milyar bahkan 5 milyar.
"Masa aku ditawarin jadi istri keduanya Pak Sayid coba!" Ceritaku setelah jam pelayanan nasabah selesai pada Detta dan Aya. Banking hall tentu sudah sepi di jam 5 sore begini.
Mereka berdua tertawa.
"Nggak papa kali, Mbak, kan dia tajir. Katanya mau punya suami kaya?" Ledek Aya.
"Tapi nggak jadi istri kedua juga kali, Ya," aku memutar bola mata.
"Tuh sama anaknya Bu Lasmi aja kan tajir tuh abis beli Pajero. Makmur deh pokoknya kalo kawin sama dia tinggal ngabisin duit orang tua aja," tiba-tiba Mas Eko yang ada di belakang kami nimbrung.
"Apaan? Anaknya Bu Lasmi naksir Aya malahan kok," aku menimpali yang membuatku diganjar tabokan di lengan oleh Aya.
"Oh, beneran, Ya?" Mas Eko malah mengkonfirmasi pada Aya membuat Aya sibuk berteriak 'apa sih' dengan raut wajah memerah.
"Emang bener kok. Bu Lasminya yang bilang sendiri ke aku," aku berkeras.
Mas Eko mengacungkan kedua jempol tangannya sambil berkata 'bagus' pada Aya.
"Eh, jangan deng, Ya. Dapet laki tajir percuma juga deng kalo yang tajir orang tuanya. Anaknya cuma ngabisin duit orang tuanya. Kalo orang tuanya mati dia bisa apa emang?" Mas Eko meralat kata-katanya.
"Lah, kalo gitu kawinin bapaknya aja, Ya. Dijamin dapet warisan kalo mati," aku terkikik geli.
"Gemblung!" Mas Eko menoyor kepalaku. Mas Eko ini marketing officer paling muda di antara Mbak Ziya dan Mas Satya jadi kami tak pernah sungkan melempar candaan paling gila sekalipun. Usianya hanya terpaut dua tahun di atasku dan masih lajang.
"Mending sama aku aja, Ya. Aku bakal usahain kita akan sukses bersama." Mas Eko menaik-turunkan kedua alisnya.
"MODUUUUSSSS!!" teriakku, Aya, dan Detta berbarengan sambil melemparinya dengan sobekan kertas-kertas bekas.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
General FictionApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...