Apa yang terjadi kalau kamu kedatangan seorang nasabah perempuan, ibu-ibu, dan menjelang usia 50an tahun alias sudah tua? Jawabannya sudah pasti bencana. Itulah yang terjadi padaku di suatu siang.
"Antrean nomor 27," panggilku yang ketiga kalinya setelah dua kali aku memanggil tapi tak ada yang maju ke meja teller.
Aku baru saja hendak memencet tombol antrean agar beralih ke antrean berikutnya saat ada seorang ibu datang tergopoh-gopoh ke depan meja teller.
"Duh, udah dipanggil dari tadi ya, Mbak?" tanyanya.
"I-iya. Maaf ibu nomor antrean berapa ya?"
Si ibu menunjukkan kertas bertuliskan nomor antrean miliknya yang sudah hampir tak berbentuk karena terlipat-lipat. Mungkin tadi dia buru-buru mengantonginya ke dalam saku atau menjejalkannya ke dalam tote bag hitam yang dicangklongnya. Di kertas itu tercetak angka 27.
"Baik, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" aku masih tersenyum ramah karena aku tidak menangkap sinyal darurat dari si ibu nasabah.
"Anu, Mbak, saya mau penarikan." Katanya.
"Sudah ditulis di slip penarikan, Bu?"
"Belum, Mbak."
Lha, gimana? Aku yakin harusnya si ibu tahu kalau mau pengambilan uang itu harus ditulis di slip penarikan dulu. Si ibu ini adalah seorang guru PNS. Bagaimana aku tahu dia seorang guru PNS? Sebab dia membawa buku tabungan khusus sertifikasi. Mana mungkin seorang guru tidak mengerti akan hal sederhana di perbankan ini?
"Saya mau ngecek dulu, Mbak, sertifikasi yang masuk berapa," terang si ibu karena mungkin melihat ekspresi yaelah-masa-kudu-aku-kasih-tau-lagi-sih yang tercetak jelas di wajahku.
"Oh, baik, Bu. Ditunggu sebentar ya, Bu."
Lalu aku pun mencetak buku tabungan si ibu dan menyerahkannya kembali pada si ibu agar diperiksanya sendiri.
"Berapa, Mbak?" dia malah bertanya padaku alih-alih melihat sendiri jumlah sertifikasi yang didapatnya. Lah, kalo aku ga jujur kan bisa aja aku bohongin.
Aku menyebutkan jumlah sertifikasi yang didapatnya.
"Oh iya iya."
Dan kupikir ini akan segera ditutup dengan si ibu yang menulis slip penarikan dan mengambil semua sertifikasi yang didapatnya- karena hampir semua nasabah guru PNS yang kutemui selalu begitu- kemudian si ibu nasabah segera pulang ke rumahnya. Tapi ternyata jalan hidup kacung memang tidak selalu mudah ketika berhadapan dengan yang namanya nasabah. Si ibu justru mengeluarkan dua lembar kertas yang ternyata adalah bukti pembayaran rekening listrik dan setoran kredit motor ke sebuah perusahaan pembiayaan kendaraan bermotor bulan lalu.
"Saya juga mau ngecek ini sekalian, Mbak, tagihannya berapa."
Sabar, hiburku dalam hati. Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar.
Aku akhirnya mengecek tagihan rekening listrik terlebih dahulu.
"Tagihan listriknya lima puluh enam ribu sembilan ratus dua puluh tujuh rupiah," aku menyebutkan jumlah tagihannya setelah kutambah dengan biaya admin bank yang kuhitung dalam kepala.
"Sama tagihan motor berarti semuanya jadi enam ratus ribuan ya, Mbak?" si ibu mengkonfirmasi. "Nah, nanti saya ambil tabungannya satu juta lima ratus setelah dipotong tagihan listrik sama motor-"
"Oh, tagihan motornya belum saya cek, Bu. Saya baru cek tagihan listriknya saja," aku buru-buru mengkoreksi sebelum si ibu menulis di slip penarikan dengan pedenya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
General FictionApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...