Warning!!
Isinya banyak narasi!!
Kalo bosen bisa sambil ngemil Panadol biar ga pusing wkwk.***
Aku yakin tiap tempat kerja punya penderitaan— eh, maksudnya tantangannya sendiri. Termasuk kerja di bank. Saat di payment point, tantanganku hanya sekadar harus bebal meladeni cowok model Irawan yang gombalnya nauzubillah dan sedikit menutup mata dari pungli yang dilakukan oleh oknum-oknum di sana. Sementara saat di kantor kas, level tantangannya semakin naik. Selain harus punya rekan kerja (baca: CS) yang ga guna sama sekali— I don't mean to say so tapi kenyataannya emang begitu— ternyata lingkungan kerja juga ikut andil dalam ketidaknyamanan yang aku rasakan.
Perlu aku ingatkan bahwa kantor kas ini terletak di dalam komplek rumah sakit. Namanya juga rumah sakit sudah tentu hawanya juga hawa orang sakit. Kayak ada negatif-negatifnya gitu. Iya, orang sakit, 'kan, memang punya hawa negatif. Surem. Sesurem isi dompet kalau pas tengah bulan. Ingat, aku gajian akhir bulan jadi tidak mungkin bokek pas akhir bulan dong.
Sudah begitu, perlu aku ingatkan lagi, luas kantor yang hanya 2x3 meter itu otomatis membuat pemandangan sumpek. Geser kaki ke kanan kepentok tembok, geser kaki ke kiri kepentok kertas-kertas, geser depan kepentok meja, geser belakang eh ada meja printer dan lemari. Bahkan kandang kambing saja sepertinya lebih luas daripada kantor kas tempatku bekerja. Jadi ya jangan harap ada banking hall dengan flyer warna-warni menggantung di atas meja teller apalagi pemandangan mobil mewah yang diberi pita yang dipajang untuk memotivasi nasabah agar meningkatkan saldo tabungannya. Ada sih tapi dalam bentuk brosur.
Inilah yang jadi masalah utamanya. Kalau kantor saja luasnya tidak lebih luas dari sabarnya orang yang dikhianati, kamar mandi adalah hal yang mustahil dijejalkan di dalamnya, lalu bagaimana caranya aku pipis, pup, mencari inspirasi, atau nangis-nangis karena abis diputusin pacar— eh, lupa aku, 'kan, tidak punya pacar. Ya tentu dengan cara menumpang dong. Menumpang ke apotek yang letaknya di sebelah kantor kas. Padahal aku cenderung beseran. Jadi bisa dibayangkan dong bagaimana betenya mbak-mbak petugas apotek yang mempersilakan aku ikut menumpang ke kamar mandi berkali-kali dalam sehari dan bagaimana malunya aku izin menumpang ke kamar mandi terus-menerus. Mungkin dalam hati mbak-mbak itu berkata "Ini kenapa Bank Nusantara kere banget dah sampe kantor ga punya kamar mandi? Dibeliin WC portabel apa gimana gitu kek terus taro di depan kantor".
Nah, selain masalah per-kamar mandi-an, masalah lain yang krusial di kantor kas adalah masalah pengisian perut. Oh, bukan bukan bukan. Bukan karena di kantor kas tidak ada warung. Ada. Ada banget. Warung di sana berderet-deret karena dekat dengan rumah sakit. Warung-warung itu buka juga karena mengakomodasi para pengunjung pasien di sana, 'kan. Masalahnya akulah yang tidak bisa keluar kantor untuk makan siang. Lah, kok bisa? Jadi begini ceritanya.
Saat masa-masa awal kerja di Bank Nusantara hanya kantor cabang yang diberi pengamanan khusus dengan adanya petugas kepolisian dan satpam. Sementara unit-unit kerja lain tidak, apalagi kantor kas yang biasanya kantornya menumpang di kantor lain seperti rumah sakit dan kantor pelayanan pajak yang sudah pasti punya satpam. Kecuali payment point. Yang jaga sekompi. Ya iyalah, wong loketnya di dalam polres. Nah, akhirnya selama jam istirahat kantor kas ditutup. Selain karena memang tidak ada satpam, teller kantor kas juga cuma satu. Kalau kantor tidak ditutup, bisa-bisa teller-nya mati kelaparan karena tidak bisa istirahat. Sudah ditutup pun aku masih tidak bisa istirahat apalagi tidak ditutup.
Tiap hari selama jam makan siang aku terpaksa makan nasi kuning yang dibelikan ibu sebagai bekal. Ibuku memang bukan tipe emak-emak yang rajin masak sarapan. Prinsip ibuku: kalau bisa beli, kenapa harus repot bangun pagi dan masak sarapan? Sejak zaman aku SD juga ibuku tidak pernah membuatkanku sarapan. Alih-alih membuatkan sarapan, aku malah disuruh membeli sendiri nasi rawon di warung dekat rumah untuk dimakan olehku. Nah, tahu sendiri, 'kan, kalau nasi kuning itu kering kalau tidak dimakan segera jadi bisa dibilang aku seperti makan nasi aking. Tidak nikmat sama sekali. Makin tidak nikmat lagi karena kadang selama jam istirahat aku masih harus mengurus pembukuan pajak yang sangat merepotkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Kacung: The Frontline Warrior | TAMAT
Ficțiune generalăApa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank enak? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank keren? Apa kamu berpikir bahwa jadi pegawai bank pasti banyak duit? Coba deh kamu baca kisah Samira berikut ini. Masih bisa bilang pegawai bank itu enak, ker...