"Gimana bisa saya masuk kelas XI IPA 1, Bu?" tanya Aileen bingung.
Saat ini ia sedang berada di ruang guru. Duduk berhadapan dengan Bu Faiza. Ia diberi tau bahwa pada kenaikan kelas XI ini dia akan masuk ke dalam kelas XI IPA 1. Kelas dimana orang-orang berotak macam Albert Einstein berkumpul. Mencoba memecahkan permasalahan matematis yang kapan saja bisa membuat kepala Aileen meledak.
"Emang apa yang membuat kamu nggak bisa masuk kelas XI IPA 1?" balas Bu Faiza dengan tenang.
"Otak saya kurang pantas Bu sama mereka-mereka yang bahkan hafal senyawa-senyawa kimia yang bikin saya hampir mau bunuh diri. Ibu tega kalo saya jadi yang paling bodoh disana?"
"Saya rasa nggak ada masalah sama otak kamu sampai merasa aneh masuk kelas IX IPA 1. Masalahnya ada di diri kamu. Kamu nggak percaya diri bahkan sampai meremehkan kemampuan otak kamu yang bisa saja membuat orang lain iri hati."
"Iri hati sama otak saya? Aduh Bu, siapa sih yang mau punya otak cetek macam saya yang cuma kepikiran seblak bakso sama mie ayam."
Bu Faiza menghela napas panjang. "Aileen, saya sudah memutuskan bahwa kamu akan masuk ke kelas XI IPA 1. Saya mengambil keputusan ini tidak asal atau sembarangan. Saya sudah mempertimbangkan segala hal dan saya rasa kamu pantas masuk kelas tersebut. Lagian teman dekat kamu si Visha juga masuk kelas IPA 1, kan? Kenapa kamu seribet ini cuma gara-gara masuk kelas itu?"
"Bu Faiza yang cantik nan menawan, jelas saya ribet lah, Bu. Si Visha itu otaknya super encer, dia juga rajin, Bu. Kalo mau dia bisa aja buat penemuan baru semacam gadget tanpa layar. Tapi kalo saya? Jangankan buat penemuan, saya aja masih sering lupa dimana nyimpen uang saku."
"Apapun yang mau kamu katakan tidak akan bisa mengubah keputusan saya, Aileen. Saya tau kamu cerdas, kamu hanya pura-pura bodoh."
Mata Aileen sedikit melotot, walaupun dibilang melotot juga kurang tepat karena matanya yang sipit macam kokoh-kokoh china.
"Ibu bilang saya cerdas?"
"Iya."
"Saya anggap itu pujian."
"Memang pujian, Aileen." Bu Faiza berujar dengan penuh kesabaran. "Urusan kamu sudah selesai, kan? Sana pergi!"
"Teganya Bu Faiza ngusir saya." Wajah Aileen memelas. Ia mencium punggung tangan Bu Faiza. "Ya sudah Bu, saya pamit. Jangan rindu dan sampai jumpa."
Aileen melangkah pergi dari ruang guru. Bu Faiza bernapas lega.
"Akhirnya... Capek juga ngurusin bocah bandot yang mulutnya macam knalpot bajaj."
***
Saat keluar dari ruang guru, Aileen telah disambut oleh gadis berpostur tinggi dengan rambutnya yang dikuncir kuda. Gadis itu adalah Radea Tavisha. Satu-satunya teman dekat Aileen.
"Gimana, Len?" tanya Visha penasaran.
Aileen menggeleng lesu. "Nggak ada yang bisa diubah, Vish. Intinya mau gimanapun gue harus tetep masuk kelas itu."
"Yaudah si santai aja. Gue kan sekelas sama lo."
"Bukan masalah itu, Vish. Gue kayak ngrasa nggak pantes aja gitu masuk kelas IPA 1." Aileen berujar lesu.
"Len, gue yakin Bu Faiza nggak akan sembarangan buat milih murid yang bakal masuk XI IPA 1. Lagian besok kan kita udah libur tuh, nah gunain dah waktu lo buat belajar dan buktiin kalo lo pantes masuk IPA 1." Visha menepuk bahu Aileen menenangkan. "Yaudah yuk balik kelas."
"Lo duluan ke kelas ya, gue mau ke toilet dulu."
"Oh, yaudah kalo gitu." Visha melangkah pergi meninggalkan Aileen sendiri.
Aileen pun bergegas menuju toilet terdekat. Sesampainya ia langsung memasuki salah satu bilik lalu berdiam diri tanpa melakukan apapun. Ia ke toilet bukan untuk buang air tetapi untuk menenangkan dirinya. Bagaimanapun upaya Visha menenangkan Aileen, tetap saja tidak bisa menghilangkan kekhawatiran yang ada di hati gadis itu.
Saat sudah mulai tenang, Aileen hendak membuka pintu toilet dan segera bergegas ke kelasnya. Tetapi, suara dua orang siswi yang baru saja masuk menghentikan pergerakan Aileen. Aileen memutuskan tetap berdiri di tempatnya, menyimak apa yang mereka bicarakan.
"Anjir, gue gak tau lagi sama pemikiran Bu Faiza."
"Lah, emang Bu Faiza kenapa?"
"Tahun ini pembentukan kelas itu yang ngurus Bu Faiza. Dan lo tau kan kelas XI IPA 1 isinya anak-anak pinter semua. Lalu dengan entengnya dia masukin si Aileen ke kelas itu."
"Hah, sumpah? Aileen?"
Mendengar namanya disebut, Aileen mencoba untuk tetap tenang. Walaupun tangannya sudah agak gemetar. Ia segera mengepalkan telapaknya agar getaran itu mereda.
"Iya Aileen. Anak pecicilan kayak dia mana pantes masuk IPA I, woyy?! Mending kasih gue aja lah."
"Iya juga, tuh. Gak kayak temennya si Visha. Otaknya asli encer. Nah ini? Aileen cuy, gak habis pikir deh sama Bu Faiza."
"Makannya itu. Udah yuk balik kelas."
Dari dalam bilik, Aileen mendengar suara langkah kaki mereka yang semakin menjauh. Saat dirasa sudah tidak ada orang sama sekali, dia keluar bilik.
Tangannya masih mengepal, getarannya juga bertambah kuat. Dadanya mulai merasa sesak.
Aileen si pecicilan.
Kata itu terus terngiang di kepala Aileen bersamaan dengan dadanya yang semakin sesak, rasa nyerinya benar-benar menyiksa. Tubuhnya jatuh terduduk.
Ia mulai menangis tanpa suara.
Saat ini Aileen merasa bahwa dirinya memang tak berguna. Benar apa yang dikatakan dua siswi tadi, Aileen tidak pantas masuk ke kelas XI IPA 1. Aileen memukul dadanya keras-keras. Rasanya sakit sekali. Air matanya menetes semakin deras.
Sebelum kalimat itu kembali terngiang di kepala Aileen, bel berdering mengembalikan kesadarannya. Dadanya masih saja terasa sakit. Ia mencoba berdiri sambil berpegangan pada dinding. Napasnya terengah-engah, tetapi ia tetap memaksakan untuk terus berjalan.
Aileen melangkah sambil menundukkan kepala. Di ambang pintu masuk toilet, ia menabrak sesuatu yang lumayan keras.
Ia mendongak mendapati seorang lelaki tinggi berkulit putih tengah berdiri di hadapannya. Netra coklatnya menatap Aileen dalam.
"Lo menjatuhkan sesuatu," ujar lelaki itu sambil mengulurkan sebuah sapu tangan.
Aileen tak langsung menerimanya. Ia berpikir sejenak. Lalu dengan ragu, ia mulai menerima sapu tangan tersebut.
Tanpa berkata apa-apa lagi, lelaki itu langsung pergi begitu saja meninggalkan pintu masuk toilet.
Aileen masih mematung memandangi punggung lelaki tadi. Saat lelaki itu mulai hilang dari pandangannya, sebuah kesadaran menghantam kepala Aileen.
'Sejak kapan ia mempunyai sapu tangan?'
***
Kalau merasa cerita ini bagus silahkan di vote XD
Selamat memasuki dunia Aileen!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Brokenheart Syndrome [END]
Teen FictionAileen Claretta. Seorang gadis yang menderita Brokenheart Syndrome sejak ia berumur empat belas tahun. Tak ada satu pun yang tau tentang itu. Aileen menyimpan semua sendiri. Terkadang, ia hanya membagi hal tersebut pada cahaya bulan yang seringkali...