Gian baru saja selesai mandi padahal jam menunjukkan pukul tujuh malam. Ia sebenarnya sudah sampai rumah sejak jam enam sore. Tetapi hari ini benar-benar melelahkan, sehingga setelah Gian melaksanakan ibadah maghrib, ia langsung tertidur begitu saja.
Ia mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk. Andai saja para gadis sekolah melihat ini, tentu mereka akan menjerit kesenangan karena disuguhi pemandangan seindah itu. Kalian pun pasti sudah tau setampan apa visual seorang Giandra Chaanakya walau hanya dengan wajah dinginnya.
Tetapi sayangnya, ia tak pernah dikabarkan dekat dengan seorang gadis sejak kejadian itu. Dia bukannya membenci perempuan, tapi entah kenapa ia menilai semua perempuan itu sama saja.
Manja dan egois.
Hanya ada tiga perempuan yang ia sayangi dalam hidupnya. Yang pertama tentu saja sang ibu. Yang kedua dan ketiga adalah adik dan kakak perempuan Gian.
Ia memang tak pernah menunjukkan secara terang-terangan, tapi Gian selalu menunjukkan rasa sayang itu dengan caranya sendiri sehingga membuat orang lain merasa istimewa.
Sekarang lelaki itu sedang duduk di sisi ranjang yang berada di kamarnya. Kamar yang didominasi oleh warna abu-abu sehingga terkesan suram. Tapi Gian suka warna abu-abu. Menurutnya warna itu adalah simbol dari kehidupan yang saat ini kita jalani.
Kehidupan yang abu-abu. Kehidupan dimana tidak ada yang tau takdir apa yang akan menghampiri kita selama hidup di dunia. Kita tak bisa melihat masa depan. Masa depan yang entah putih, hitam, atau merah. Tetapi tentu saja kita harus senantiasa menjalani kehidupan, walau hanya sekedar abu-abu yang tidak jelas.
Pada saatnya nanti, saat kita sudah menjalani semua dengan baik, abu-abu akan terganti oleh warna-warna lainnya. Suka, duka, tangis dan tawa. Namun walau terganti, abu-abu itu adalah bagian penting dari kehidupan. Dia menyimpan seluruh proses dari awal hingga akhir eksistensi kita di alam semesta ini.
Mungkin banyak yang tidak paham oleh pemikiran Gian yang serumit itu hanya untuk menjelaskan kenapa dia suka abu-abu. Tapi jelas dia tidak peduli. Karena Gian hanya menjalani apa yang dia suka, orang lain suka atau tidak itu terserah mereka. Hanya membuat lelah saja kalau kita terus-menerus menuruti kemauan orang tetapi mengabaikan diri sendiri.
Saat sedang mengeringkan rambutnya, ponsel Gian yang berada di atas kasur bergetar. Menandakan ada pesan dari seseorang. Awalnya Gian acuh dengan pesan itu, tapi lama-lama si pengirim terus membombardir Gian dengan pesan-pesan lainnya yang amat tidak penting.
Gian pun menyerah. Di mengambil ponselnya kemudian membuka notifikasi pesan tersebut. Ternyata dari gadis itu. Gadis yang awalnya memberi warna pada hidup Gian yang abu-abu, walau kemudian gadis itu juga yang membuat warna abu-abu kembali mengitari hidup Gian.
Abu-abu yang lebih suram dan gelap.
Tapi sekarang, Gian sama sekali tidak peduli pada gadis itu. Ia telah melupakannya sebagaimana kenangan buruk yang pernah lalu selama eksistensinya. Dia tidak membenci gadis itu, sungguh.
Dia hanya membatasi dirinya dari segala hal tentang gadis yang pernah dicintainya itu. Pilihan yang terbaik untuk saat ini.
Ia pun memutuskan untuk mengabaikan dan hanya membaca pesan itu yang dari dulu isinya selalu sama. Permintaan maaf. Padahal percuma gadis itu minta maaf karena maaf tidak akan mengubah masa yang telah lalu.
Gian menarik napas panjang. Kenapa hari ini fisik dan pikirannya begitu lelah?
Ah, pasti penyebabnya adalah gadis bodoh yang baru-baru ini muncul di kehidupan Gian. Aileen Claretta. Gian ogah kalau disuruh memanggil nama yang sebagus itu untuk seseorang yang bahkan tidak ada bagus-bagusnya. Terlalu lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brokenheart Syndrome [END]
Teen FictionAileen Claretta. Seorang gadis yang menderita Brokenheart Syndrome sejak ia berumur empat belas tahun. Tak ada satu pun yang tau tentang itu. Aileen menyimpan semua sendiri. Terkadang, ia hanya membagi hal tersebut pada cahaya bulan yang seringkali...