Hari hampir pagi. Gian bersandar pada tembok dengan kepala yang terus menunduk ke bawah. Matanya memerah karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Rambutnya berantakan juga kemeja putih yang penuh darah membuat Gian terlihat lebih berantakan dari biasanya.
Sedari tadi Gian berdiri di depan ruang ICU seraya memanjatkan doa agar Aileen tetap selamat dalam keadaan kritisnya. Gian tidak tau harus berbuat apa. Tubuh dan hatinya sudah mati rasa. Kali ini yang di pikiran Gian hanya satu, Aileen. Cukup dengan keselamatan Aileen maka Gian akan kembali tersenyum dan tertawa. Pastinya tertawa di samping gadis itu.
Gian tidak pernah menduga bahwa perempuan lemah yang dia temui di toilet beberapa bulan lalu, mampu mengubah hidup Gian tak berarti hanya dalam sekejap mata. Melihat Aileen yang tersenyum sendu, Gian ikut tersayat. Melihat Aileen penuh darah, Gian merasa hidupnya tak berguna sama sekali. Dan melihat Aileen di sakiti orang lain, membuat Gian ingin membunuh semua populasi manusia di dunia ini.
Andai tadi Ge tidak mencegahnya. Mungkin Gian sudah benar-benar membunuh Agra. Tapi kalau Gian melakukan itu, Aileen tidak akan senang. Gadis itu akan kembali bersedih kalau Gian menjadi pembunuh. Dan Gian juga akan hancur kalo Aileen sedih untuk kesekian kalinya.
Ge dan Visha berlari di koridor rumah sakit dengan dua orang paruh baya yang Gian tebak merupakan orang tua Aileen. Di belakangnya juga ada gadis yang sepertinya lebih tua dari Gian. Dan juga seorang anak laki-laki yang lebih muda dari Gian. Mereka pasti kakak dan adik Aileen.
Ge dan Visha langsung menghadap Gian untuk bertanya bagaimana keadaan Aileen. Gian hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena memang sedari tadi dokter yang menangani Aileen belum keluar sama sekali dari ruang ICU.
Semua orang yang ada di sana menunggu dengan cemas. Visha tidak bisa menghentikan tangisnya dari awal ia datang. Gadis itu duduk bersandar di bahu milik Kakak Aileen yang terlihat lebih tenang. Ibu Aileen beda lagi, Gian melihat wanita itu berusaha untuk tetap tersenyum walau ekspresinya menampilkan begitu banyak kecemasan.
Ayah Aileen hanya berdiri dengan wajah yang begitu dingin. Aura kepemimpinan nya sangat terpancar walau dalam keadaan duka. Terakhir adalah adik laki-laki Aileen. Dia terlihat sangat santai tetapi matanya sudah memerah karena menahan tangis.
"Semua orang sedih kalo lo kayak gini, Len. Gue mohon lo bangun dan ngomong apa aja ke gue kayak dulu lagi. Gue nggak bisa lo giniin. Gue sayang sama lo, dan kalo bisa gue mau kita tuker posisi. Gue lebih sanggup nahan luka tusuk ketimbang harus liat lo kayak gini," gumam Gian sangat pelan. Air mata kembali menetes menyusuri pipi Gian.
"Laki-laki nggak boleh nangis, oke?" Seseorang berdiri di hadapan Gian dengan senyum konyolnya.
Orang itu adalah adik Aileen, Shaka.
Shaka mengambil tempat di samping Gian dan ikut menyandarkan tubuhnya ke tembok.
"Gue itu sering banget nangis kalo lagi bertengkar sama tuh cewek preman yang sekarang ada di dalem. Kalo liat gue nangis dia selalu ngejekin gue dan bilang, 'laki-laki itu nggak boleh nangis, apalagi cuma gara-gara cewek lemah kayak gue.' Gue pasti ketawa setiap dia bilang kayak gitu. Menurut gue dia nggak lemah, dia kuat dan gue bahkan nggak pernah lihat dia nangis. Tapi gue tau, dia selalu nyembunyiin rasa sedihnya dari semua orang. Dia nggak mau nyusahin orang lain cuma karena masalahnya sendiri. Jadi gue harap lo nggak nangis, kakak gue nggak suka kalo kita nangis gara-gara dia," jelas Shaka dengan panjang lebar.
Gian bisa mendengar bahwa dari suaranya saja lelaki itu sebenarnya juga sangat ingin menangis. Tapi kata-kata Aileen yang sangat Shaka ingat membuat ia menahan tangisnya demi menghindari ketidak sukaan Aileen yang saat ini tengah berbaring lemah di ruang ICU.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brokenheart Syndrome [END]
Novela JuvenilAileen Claretta. Seorang gadis yang menderita Brokenheart Syndrome sejak ia berumur empat belas tahun. Tak ada satu pun yang tau tentang itu. Aileen menyimpan semua sendiri. Terkadang, ia hanya membagi hal tersebut pada cahaya bulan yang seringkali...